Bossku Cantik Tapi Hypersex

Mbak Menur, demikian biasanya bossku disapa di kantor. Mbak Menur perempuan lajang dengan usia 37 tahun. Usia yang cukup terlambat bagi perempuan untuk menikah. Tapi entah mengapa Mbak Menur memilih melajang. Padahal wajah Mbak Menur terbilang ayu dengan ukuran tubuh proporsional, bergelar Sarjana Hukum sekaligus menjabat General Manager di perusahaan asuransi ternama di Indonesia.

Di ruangan kerjanya yang luas dan tertata rapi, Mbak Menur kerap menerima tamunya. Mereka adalah klien ataupun tamu-tamu dengan banyak kepentingan, tapi yang paling kerap mendatanginya adalah pria-pria muda tampan berpenampilan modis bak model pria yang kerap kulihat di majalah-majalah.

?Tedi, ke ruanganku sebentar dan bawa data klien kamu?, ucap Mbak Menur tanpa senyum. Aku sempat khawatir, jangan-jangan ada yang salah dengan pekerjaanku. Sejak aku diterima kerja empat bulan lalu, belum sekalipun Mbak Menur memanggilku. Dengan perlahan kuketuk pintu ruang kerjanya sambil membawa data yang dimintanya. Mbak Menur mempersilakanku duduk dan mulai menanyakan kemajuan pekerjaanku. Maka dengan panjang lebar kujelaskan progress dari pekerjaanku. Mbak Menur hanya sesekali menyela. Hingga satu jam diskusi kami, Mbak Menur mengatakan, ?Tedi, besok aku akan ke Solo untuk rapat dengan kepala cabang dan aku ingin kamu ikut?, tegasnya. Aku hanya mengangguk cepat serta mengiyakan perintahnya.

Sesuai jam keberangkatan, kami bertemu di ruang tunggu. Mbak Menur hanya sekilas menyapaku kemudian ia tenggelam kembali dengan buku bacaannya, yang sepintas kulihat dari judulnya adalah sebuah novel ringan. Aku hanya diam membisu tak berani menganggunya, maklumlah aku hanya seorang asisten Manager.

Di pesawat kami tidak duduk berdampingan, karena kami check in sendiri-sendiri. Tiba di Solo kami langsung pergi ke cabang perusahaan dan masuk ke ruang rapat hingga malam hari guna mendiskusikan anggaran 2007. Aku hanya mendengarkan dan mencatat semua hasil keputusan rapat. Tepat pukul 20.00 rapat berakhir dan segera kami mencari makan malam bersama .

Kamar hotel yang kutempati kelas standar, namun aku menyukai interior kamarnya yang bergaya minimalis. Saat aku sedang rebahan menikmati tatanan kamar, telepon berdering. Dari Mbak Menur yang membutuhkan pertolonganku untuk mencari obat sakit kepala, migrennya kumat.

Kuketuk pintu kamarnya perlahan guna mengantarkan obat pesanannya. Mbak Menur membukanya dan memintaku masuk. Ragu aku masuki kamarnya yang lebih luas dari kamarku dan segera menuju sofa. Mbak Menur mengeluh dan nampak pucat sambil segera meraih sebotol air mineral untuk menelan obat yang kuangsurkan. Mbak Menur memintaku membantu memijit kepala dan lehernya agar sakitnya sedikit reda.

Tentu saja aku menyanggupi untuk memijitnya. Kami berdua saling membisu, tak ada percakapan sedikitpun. Hingga tanpa kuduga tangan Mbak Menur menyentuh tanganku dan menariknya masuk ke t-shirt menuju payudaranya. Aku mengikuti saja apa maunya, kemudian diajarkannya aku untuk meremas dan memainkan putingnya. Kelelakianku mulai bergejolak menginginkan tubuhnya.

Masih dalam posisi duduk mebelakangi aku mencium kuduknya, menjilat belakang kupingnya, hingga ia terengah-engah. Mbak Menur mulai memandu tanganku menuju ke arah lipatan pahanya, menyusupkan jari telunjukku ke celana dalamnya yang ternyata agak longgar, hingga memudahkan jari jemariku menari. Dengan satu sentakan ia menarikku ke ranjang serta membuangi segala benang yang menempel di tubuhnya kemudian terlentang menungguku. Tanpa membuang waktu akupun menuju tubuhnya. Setelah berkali-kali ia menjerit menunjukkan klimaks kepuasan, barulah aku mengakhirinya. Kami kelelahan dan tertidur pulas.

Esok paginya Mbak Menur membangunkanku dan kembali mengajak bercinta. Setelah usai bercinta kami mandi dan sarapan pagi bersama di restoran hotel. Aku ijin untuk ke kamar mengambil laptop guna meneruskan rapat di kantor cabang. Sesaat aku berada di kamar, suara ketukan terdengar di pintu. Seraut wajah dengan penuh senyum lebar menyapaku. Dengan alasan ingin melihat kamarku, Mbak Menur melangkah masuk.

Mbak Menur duduk di atas ranjang yang belum sempat kutiduri, ?Bercumbu sebentar di sini yuk, kan tempat tidurmu belum terpakai?, ujarnya ringan sambil mencopoti baju kerjanya satu persatu. Sejurus kemudian ia menarikku untuk mencumbuinya lagi . Sungguh, aku lelah sekali, tapi aku tak berani menolak, karena Mbak Menur adalah boss-ku.

Senangnya Jadi Bos

Sudah sejak seminggu yang lalu Lenny sekretarisku mengeluh kalau pekerjaannya sekarang bertambah banyak, karena memang beberapa waktu ini aku membeli beberapa perusahaan baru untuk perluasan bisnisku. Sebagai sekretaris pribadi, maka Lenny harus mengetahui semua permasalahan bisnisku dengan mendetail sehingga dapat dimaklumi bahwa dia agak kerepotan juga menyelesaikan semua tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Karena dia terus mengeluh, maka aku menyuruh dia untuk mencari asisten untuk membantunya. Lenny sangat gembira karena aku mengijinkannya mencari asisten, tentu saja dia tak akan lupa dengan pesanku bahwa asistennya harus dapat memuaskan aku baik pekerjaannya maupun seksnya. Lenny hanya tertawa waktu mendengar permintaanku itu. Aku juga yakin bahwa tak terlalu sulit untuk mendapatkan sekretaris yang sehebat Lenny luar dalam, karena aku berani membayar sangat mahal untuk pelayanan mereka, namun yang menarik bagiku adalah kesempatan untuk menguji mereka secara langsung. Karena disinilah selera petualanganku aan terpuaskan dengan menggoda para calon sekretaris itu.


Setelah melalui screening yang ketat oleh personalia, Lenny akhirnya menyetujui 6 calon asisten yang untuk itu dimintanya aku untuk menguji langsung mereka itu. Lenny terus-menerus tersenyum ketika ia menceritakan betapa cantiknya para calon sekretaris yang melamar dan pasti aku akan bingung untuk memilihnya. Akupun hanya tertawa karena aku yakin pikiran Lenny sudah ngeres saja. Dalam hati aku sudah tak sabar menunggu jam makan siang, karena setelah itu para calon pegawaiku ini akan menghadapku.

Ketika aku kembali dari makan siang, kulihat diruang tunggu sudah berderet duduk beberapa gadis yang rata-rata berdandan rapi. Dari pandangan pertama aku mengakui bahwa mereka rata-rata cantik hanya saja kelihatannya kalau umurnya masih muda. Mereka semua memandangku dengan penuh harap sambil berusaha menunjukkan senyum yang terindah, aku membalas senyum mereka dan langsung masuk ke ruanganku. Lenny yang sudah menunggu aku langsung mendatangiku dan menanyakan apakah aku sudah siap untuk mulai wawancara. Aku mengangguk namun kusempatkan untuk bertanya pada Lenny, apakah semuanya masih perawan, Lenny menjawab bahwa perasaan dia ada dua yang masih perawan yaitu yang namanya Indah dan Ratih, kalau yang lainnya kelihatannya sudah punya pengalaman. Yang pertama masuk seorang gadis memakai rok ketat berwarna biru tua, wajahnya cantik dengan tubuh yang tinggi langsing. Dengan penuh hormat ia menjabat tanganku dan duduk didepanku sambil menyerahkan berkas wawancara dari staffku sebelumnya. Kubaca namanya adalah Hesti ia lulusan Akademi Sekretaris yang terkenal di kota Bandung umurnya baru 21 tahun.

Setelah mengetahui jati dirinya aku menutup map itu dan memandangnya tajam. Hesti menatap pandanganku dengan berani meskipun tetap sopan. Aku langsung menanyainya dengan beberapa hal yang umum mengenai kemampuannya, sementara mataku dengan teliti memandang wajah serta badannya. Aku kurang suka dengan Hesti ini karena badannya terlalu langsing meskipun susunya kelihatan cukup montok untuk badan selangsing dia itu. Setelah dia tak begitu canggung berbicara denganku, aku mulai memasang jebakanku, kutawari dia untuk merokok, Hesti kaget mendengar tawaranku itu, dengan ragu-ragu ia memandangku. ketika kukatakan bahwa kalau dia memang biasa merokok boleh saja merokok agar bisa lebih santai berbicara, barulah ia berani mengambil sebatang Marlboro yang kusodorkan.

Ketika kutanyakan apakah dia berkebaratan kalau aku bertanya hal hal yang bersifat pribadi, dia langsung menggelengkan kepalanya tanda tak keberatan. Aku tersenyum sambil membetulkan dudukku.

"Apakah Hesti sudah punya pacar?", Hesti tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Apakah pacar Hesti juga tinggal di Bandung?".
"Tidak Pak, pacar saya ada di Jakarta".
"Oh, makanya Hesti kepengen kerja di Jakarta ya?" Hesti lagi-lagi mengangguk dan tersenyum manis.
"Apakah ini pacar Hesti yang pertama ataukah sebelumnya sudah sering berpacaran?
"Sering Pak, tetapi semuanya sudah putus karena tak cocok!".
Aku tersenyum dan bertanya lagi, "Selama berpacaran, apa saja yang dilakukan oleh Hesti?".
"Maksud Bapak bagaimana ya?", Hesti balas bertanya.
"Maksud Bapak, apakah hanya sekedar omong-omong, atau dengan tindakan tindakan lain!

Hesti terdiam dan hanya tersenyum mendengar pertanyaanku yang mulai terarah itu.

"Sebagai seorang sekretaris, Hesti harus bisa menyimpan rahasia perusahaan secara maksimal, maka bagi Bapak, kalau Hesti bisa berkata jujur mengenai diri Hesti, berarti juga Hesti bisa dipercaya untuk memegang rahasia perusahaan!".
Mendengar itu Hesti baru berani menjawab, " Ya kadang kadang omong-omong, kadang-kadang juga yang lainnya Pak!".

"Yang lainnya bagaimana?" kejarku, Hesti tak menjawab tetapi hanya senyum saja.
"Apa berciuman?" Hesti mengangguk.
"Apakah pacar Hesti suka meremas-remas buah dada Hesti?" dengan wajah sedikit malu Hesti mengangguk.
"Sekarang coba jujur pada Bapak ya, apakah Hesti pernah berhubungan seks?", dengan wajah yang makin merah Hesti menganggukkan kepalanya.
Kukejar lagi dengan pertanyaan, "Sudah dengan berapa pria Hesti berhubungan seks?
Hesti menjawab, "Empat orang Pak!"

Aku tidak terlalu terkejut dengan pengakuan Hesti ini, tetapi karena aku tak terlalu tertarik dengan Hesti, maka aku tidak berusaha untuk mengajaknya untuk main, aku hanya ingin mengetahui keadaan Hesti luar dalam dan nantinya memberi dia duit agar supaya kalau tokh dia tidak kuterima maka aku tidak dituntutnya macam-macam. Dari laci mejaku kukeluarkan sebendel uang limapuluh ribuan senilai 5 juta rupiah, aku berkata kepada Hesti, bahwa aku ingin melihat dia membuka pakaiannya agar aku dapat lebih mengenal dia secara nyata, untuk itu akan kuberikan uang 5 juta rupiah yang ada di depannya itu. Kalau nanti dia diterima, maka uang itu tetap menjadi miliknya, sedangkan kalau tidak maka uang itu sebagai hadiah dariku. Hesti ternganga mendengar perintahku yang tak pernah didengarnya itu, tetapi ia benar-benar siap untuk apapun rupanya.

Dengan agak gemetar ia berdiri dan mulai membuka pakaiannya satu persatu, aku hanya duduk saja di depannya. Seperti yang kuduga buah dada Hesti cukup montok untuk badan ceking seperti itu, ketiaknya juga bersih mulus tanpa bulu selembarpun, ketika behanya dilepas, tampaklah buah dadanya yang kelihatannya sudah agak mengendur dan penuh dengan kecupan merah. Dari situ aku yakin kalau Hesti ini doyan main!. Ketika Hesti membuka rok dan sekaligus celana dalamnya, penisku agak tegang juga, karena selangkangan Hesti ditumbuhi dengan bulu yang cukup rimbun. Setelah telanjang, Hesti berdiri mematung di depanku sambil tersenyum dan menunduk. Aku berdiri mendekati dia dan menyentuh susunya yang kurasakan agak empuk begitu juga dengan pantatnya, ketika kuraba bulu vaginanya, Hesti merangkulku seperti orang yang kaget. Aku diam saja, hanya jariku yang mulai menyelinap di antara celah pahanya mencari liang vaginanya. Hesti mengerang ketika jariku menyentuh clitorisnya, tangannya meremas-remas bahuku tanpa berkata apa-apa. Aku merasa semuanya sudah cukup, maka aku kembali duduk di kursiku dan kusuruh dia kembali berpakaian.

Setelah kuberikan uang dalam amplop itu, kuucapkan terima kasih dan kuminta Hesti menunggu kabar dari personalia. Hesti juga mengucapkan terima kasih dan meninggalkanku. Setelah itu masuk berturut-turut, Meity, Retno, Onny dan Ratih yang perkiraan Lenny masih perawan. Meity, Retno maupun Onny semuanya juga kuberi hadiah 5 juta rupiah setiap kali mereka telanjang bulat di depanku, semuanya berbadan bagus dengan susu yang montok, benar-benar berat bagiku untuk menahan diri menghadapi vagina yang masih muda dan segar seperti milik mereka itu. Ketika Onny telanjang di depanku aku tak tahan untuk tak menciumi vaginanya yang berwarna merah muda itu, kujilati clitorisnya sampai Onny merintih-rintih, begitu juga dengan Retno yang sempat merasakan tusukan penisku meskipun hanya sampai dasar dan segera kucabut kembali. Ratih yang diduga Lenny perawan ternyata juga sudah tak perawan, justru cewek satu ini yang berani terang-terangan mengajakku untuk main tetapi aku ragu-ragu karena aku hanya mau main dengan calon pegawai yang betul-betul akan kuterima saja, yang lainnya cukup main-main saja.

Kesabaran dan ketahananku akhirnya berbuah juga, ketika calon sekretarisku yang bernama Wulan masuk, aku merasakan kalau inilah cewek yang tepat untuk mendampingi Lenny sebagai sekretaris, mataku dengan tak sungkan-sungkan melahap wajah dan tubuh Wulan yang tinggi besar itu. Wajahnya cantik dengan tipe Jawa, hidungnya mancung dan kulitnya putih, bibirnya sangat sensual dengan lipstick merah tua. Blousenya yang berpotongan rendah dilapisi jas berwarna biru tua, sepintas aku dapat melihat lekuk buah dadanya yang dalam menandakan kalau buah dada pemiliknya montok. Dari penampilannya, sepertinya cewek yang satu ini alim, tetapi aku yakin kalau sebenarnya dia ini super hot dan sangat sesuai dengan seleraku. Pandanganku yang jalang itu, tidak membuat dia rikuh, malah dia tersenyum manja waktu mengulurkan tangannya untuk bersalaman, tangannya empuk dan hangat sekali, begitu juga dengan suaranya yang agak bernada bass itu. Semuanya sangat memuaskan seleraku, hanya sekarang tergantung bagaimana aku dapat mengolah agar dia dapat aku sikat dan selanjutnya akan kupakai untuk membantu Lenny. Pikiranku sudah membayangkan kalau mereka berdua aku sikat sekaligus diruang ini, pasti asyik.

Setelah berbasa basi dengan menanyakan beberapa hal yang sifatnya formil, aku mulai menanyakan hal hal yang sensitif, karena begitu bernafsu akau merasakan kalau suaraku agak gemetar, tetapi justru yang kulihat Wulan malah tersenyum melihat gayaku itu.

"Wulan keberatan nggak kalau saya tanya hal hal yang sifatnya pribadi, karena sebagai tangan kanan Bapak, tentunya Bapak juga ingin tahu hal hal seperti itu".
"Tentu saja boleh Pak, silahkan Bapak tanya apa saja!", Aku menelan ludah mendengar jawaban Wulan yang menantang itu.
"Wulan tingginya berapa ya?".
"Seratus tujuh puluh enam senti Pak".
"Berapa ukuran vital Wulan?".
"Dada 36, pinggang 30, pinggul 38", Aku tersenyum mendengar ukuran vitalnya yang hebat itu, Wulan juga menyeringai melihat aku tersenyum itu.
"Masak dada Wulan sebesar itu, kelihatannya kok nggak ya!".
"Benar kok Pak, Wulan nggak bohong", jawabnya mengajuk.
"Coba Wulan buka jasnya, biar Bapak bisa melihat lebih jelas!".

Tanpa ragu-ragu Wulan berdiri dan melepas jasnya, ternyata Blouse Wulan tak berlengan sehingga aku dapat melihat lengannya yang putih mulus itu. Memang setelah Wulan hanya memakai blouse, baru kelihatan kalau susunya memang besar. Ketika kusuruh Wulan mengangkat lengannya, kelihatan juga kalau ketiaknya penuh bulu yang sangat aku sukai. Aku makin bernafsu melihat tubuh Wulan yang sip ini, tetapi aku masih harus berusaha agar Wulan benar benar dapat kutiduri, karenanya aku masih harus terus berusaha.

"Apakah Wulan pernah melihat blue film?"
"Pernah Pak".
"Sering?".
"Sering".
"Coba ceritakan pada Bapak apa yang kamu sukai kalau nonton blue film itu!"

Wulan pertamanya agak ragu untuk menjawab, tetapi akhirnya keluar juga jawabannya.

"Wulan senang kalau mereka melakukan adegan pemanasan, dan juga melihat mimik muka ceweknya kalau puas! Aku rasanya sudah tak tahan lagi ingin menubruk Wulan, tetapi aku masih menahan diri.

"Wulan, coba ya behanya dilepas, Bapak ingin melihat buah dada Wulan!".
"Apa blousenya juga dilepas Pak?".
"Terserah!".

Kembali Wulan berdiri, dia dengan tenang membuka blousenya serta kemudian melepas pengait behanya. Benar-benar fantastis payudara Wulan, besar, montok, putih namun sedikit kendor. Aku sejenak terpana memandangnya, tetapi aku langsung dapat menguasai diriku dan berdiri dan berjalan memutari mejaku mendekati Wulan. Tanpa ragu kedua tanganku langsung meremas payudara Wulan dengan lembut. Wulan hanya diam saja, merasakan empuknya payuadara Wulan aku tahu kalau dia sudah tidak gadis lagi. Remasan tanganku ke payudara Wulan menyebabkan puting susunya mulai mengeras, aku menyelusupkan tanganku ke ketiaknya dan mengangkat lengannya tinggi-tinggi, kuperhatikan ketiaknya yang penuh dengan bulu hitam itu dan tanpa sadar aku sudah menciuminya.

Saat itulah Wulan mulai mendesah kegelian, aku terus menciumi bulu ketiaknya yang berbau harum oleh karena deodorant itu untuk kemudian ciumanku mulai mengarah keputing susunya.

Wulan dengan agak berbisik berkata, "Pak, nanti ada yang melihat lho, Wulan takut!", Aku mana perduli dengan semua itu. Justru sambil mengulum puting susunya aku mulai melepaskan rok yang dipakainya. Dengan mudah kulepaskan rok bawah Wulan demikian juga dengan celana dalamnya, ketika kuraba selangkangan Wulan dapat kurasakan ketebalan bulu vaginanya di telapak tanganku, ketika jariku menyelinap ke dalam vaginanya. Wulan makin menggelinjang dan meremas pundakku tanpa bersuara sedikitpun. Karena aku tahu waktuku hanya sebentar, maka aku menghentikan ciumanku dan mulai melepasi pakaianku sendiri. Wulan hanya berdiri saja melihat aku melepaskan semua pakaianku itu, matanya terbeliak ketika kulepas celana dalamku sehingga penisku tersembul keluar.

Dengan terbata-bata ia berkata "Pak saya takut Pak, punya Bapak besar sekali, nanti nggak cukup lho Pak, saya baru beberapa kali bersetubuh!. Aku berbisik agar ia tak takut karena aku akan hati hati dan kujamin dia tak merasa sakit.

Kubaringkan Wulan di sofa yang ada di kantorku, dan aku kembali ke mejaku. Tanpa diketahui Wulan aku memejet interkom untuk memanggil Lenny, Lenny yang telah mengerti dengan kode dari aku segera masuk ke ruanganku dengan tenangnya. Tetapi lain dengan Wulan yang langsung meloncat kaget dengan wajah pucat pasi dan kebingungan mencari penutup tubuh.

"Wulan nggak usah takut, tokh nanti kalau kamu kerja juga bersama dengan Mbak Lenny, jadi rahasiamu juga jadi rahasia mbak Lenny ya!", Wulan hanya diam saja dengan wajah merah menatap Lenny yang tersenyum manis kepadanya. Ketika kutanyakan dimana kondom yang kubutuhkan, Lenny mengeluarkannya dari saku dan membukanya untuk kemudian dengan berjongkok ia memasangnya di penisku yang sudah berdiri kaku itu, karena memang tujuannya agar supaya Wulan tidak rikuh dengan dirinya, Lenny secara sengaja mengulum penisku dulu sebelum memasang kondom bahkan dengan demonstratif ia menelan seluruh penisku hingga tinggal pelirku saja. Wulan memandang semua itu dengan wajah merah padam, entah karena malu atau karena nafsunya yang sudah naik. Yang pasti ia diam saja ketika Lenny duduk di atas meja kerjaku sementara aku mendekatinya, kurenggangkan kaki Wulan sehingga vaginanya kelihatan merekah merah tua.

Pelan-pelan kusapukan lidahku kepinggir vagina Wulan, Wulan langsung mendesah dan mendorong kepalaku, aku diam saja malahan kuteruskan jilatanku pada clitorisnya yang bulat itu, Wulan merintih rintih kegelian, tanganku tak tinggal diam juga ikut meremas remas susunya yang montok itu. Wulan dengan gemetar meraih penisku dan diremasnya penisku dengan gemas sekali. Aku juga kasihan melihat Wulan yang demikian kebingungan karena merasakan kegelian yang luar biasa itu, tetapi tujuanku sebenarnya agar dia tak terlalu merasa sakit bila penisku yang gede itu menembus vaginanya.

Langsung saja aku mengarahkan penisku ke liang vaginanya yang sudah basah kuyup dan merekah itu, ketika kulihat ujungnya sudah terselip diantara bibir vagina Wulan, pelan-pelan kutekan masuk. Wulan menggigit bibirnya sementara tangannya memegang pantatku entah mau menahan atau malahan mendorong, yang pasti penisku dengan pelan berhasil juga masuk seluruhnya ke dalam liang vaginanya. Vagina Wulan terasa legit sekali, rasa hangat yang menjepit penisku membuat aku menggigit bibir karena enaknya. Tetapi seperti yang kuduga, Wulan kurang berpengalaman dalam persetubuhan, karena meskipun penisku sudah mentok menyentuh leher rahimnya, ia diam saja bahkan menutup matanya.

Aku berbisik di telinganya agar Wulan juga menggerakkan pantatnya, tetapi Wulan tetap diam saja. Gerakan penisku naik turun membuat vagina Wulan bertambah basah dan becek, aku benar-benar kecewa dengan vagina Wulan ini, rasanya aku kepengen mencabut penisku dan berpindah ke vagina Lenny yang pasti lebih pulen dibanding punya Wulan itu, tetapi aku tak mau melukai perasaan Wulan. Dengan agak tergesa-gesa aku mempercepat genjotanku agar aku segera mencapai puncak kenikmatanku, tetapi dasar masih belum berpengalaman, tiba-tiba saja Wulan merintih keras, sementara kurasakan vaginanya mengejang. Rupanya Wulan sudah mencapai puncak kepuasannya, badannya berkeringat dan kakinya erat melingkar dipantatku. Dengan beberapa sentakan lagi, akupun memuntahkan air maniku yang tertampung dalam kondom yang kupakai. Begitu rasa geli mulai hilang dari ujung penisku, aku segera mencabut penisku dan kusuruh Lenny mengajak Wulan untuk keluar dari ruanganku. Lenny tersenyum melihatku, ia tahu bahwa aku kurang puas dengan permainan Wulan, pasti nantinya Lenny harus bekerja keras untuk mendidik Wulan agar tahu seleraku dalam bermain main ! Kuingatkan Lenny agar tak lupa memberi Wulan uang serta memanggilnya lagi untuk masuk kerja.

Di Tepi Sungai Itu

Cerita ini terjadi kurang lebih sebelas tahun yang lalu (tepatnya tanggal 31 Desember 1995). Saat itu kelompok kami (4 lelaki dan 2 perempuan) melakukan pendakian gunung. Rencananya kami akan merayakan pergantian tahun baru di sana. Sampai di tempat yang kami tuju hari telah sore, kami segera mendirikan tenda di tempat yang strategis. Setelah semuanya selesai, kami sepakat bahwa tiga orang lelaki harus mencari kayu bakar, sisanya tetap tinggal di perkemahan. Aku, Robby, dan Doni memilih mencari kayu bakar, sedangkan Fadli, Lia dan Wulan tetap tinggal di tenda. Baru beberapa langkah kami beranjak pergi, tiba-tiba Wulan memanggil kami, katanya dia ingin ikut kelompok kami saja (alasannya masuk akal, dia tidak enak hati sebab Fadli adalah pacar Lia, dan Wulan tidak ingin kehadirannya di tenda mengganggu acara mereka). Karena Fadli dan Lia tidak keberatan ditinggal berdua, kami (Robby, Doni, aku dan Wulan) segera melanjutkan perjalanan.


Ada beberapa hal yang perlu aku ceritakan kepada pembaca tentang dua orang teman wanita kami. Lia sifatnya sangat lembut, dewasa, pendiam dan keibuan. Sifat ini bertolak belakang dengan Wulan. Mungkin karena dia anak bungsu dan ketiga kakaknya semua lelaki, jadi Wulan sangat manja, tapi terkadang tomboy. Tapi di balik semua itu, kami semua mengakui bahwa Wulan sangat cantik, bahkan lebih cantik dari Lia.

Tidak berapa lama, sampailah kami pada tempat yang dituju, lalu kami mulai mengumpulkan ranting-ranting kering. Sambil mengumpulkan ranting, kami membicarakan apa yang sedang dilakukan Fadli dan Lia di dalam tenda. Tentu saja pembicaraan kami menjurus kepada hal-hal porno. Setelah cukup apa yang kami cari, Robby mengusulkan singgah mandi dulu ke sungai yang tidak berapa jauh dari tempat kami berada. Wulan boleh ikut, tapi harus menunggu di atas tebing sungai sementara kami bertiga mandi. Wulan setuju saja. Singkat kata, sampailah kami pada sungai yang dituju. Aku, Robby dan Doni turun ke sungai, lalu mandi di situ. Wulan kami suruh duduk di atas tebing dan jangan sekali-kali mengintip kami.

Ketika sedang asyik-asyiknya kami berkubang di air, tiba-tiba kami mendengar Wulan menjerit karena terjatuh dari atas tebing. Tubuhnya menggelinding sampai akhirnya ia tercebur ke dalam air. Cepat-cepat kami berlari mencoba menyelamatkan Wulan (kami mandi hanya menanggalkan baju dan celana panjang, sedangkan celana dalam tetap kami pakai). Robby yang pandai berenang segera menjemput Wulan, lalu menariknya dari air menuju tepi sungai. Aku dan Doni menunggu di atas. Sampai di tepi sungai, tubuh Wulan basah kuyup. Sepintas kulihat lengan Robby menyentuh buah dada Wulan. Karena Wulan memakai T-Shirt basah, aku dapat melihat dengan jelas lekuk-lekuk tubuh Wulan yang sangat menggairahkan.

Wulan merintih memegangi lutut kanannya. Aku dan Doni terpaku tidak tahu apa yang harus kami lakukan, tapi Robby yang pernah ikut kegiatan penyelamatan dengan sigap membuka ikat pinggang Wulan lalu mencopot celana jeans Wulan sampai lutut. Wulan berteriak sambil mempertahankan celananya agar tidak melorot. Sungguh, saat itu aku tidak tahu apa sebenarnya yang hendak Robby lakukan terhadap Wulan. Segalanya berjalan begitu cepat dan aku tidak menyimpan tuduhan negatif terhadap Robby. Aku hanya menduga, Robby hendak memeriksa luka Wulan. Tapi dengan melorotnya jeans Wulan sampai ke lutut, kami dapat melihat dengan jelas celana dalam wulan yang berwarna off-white (putih kecoklatan) dan berenda. Kontan penisku bangun.

Robby memerintahkan aku dan Doni memegangi kedua tangan Wulan. Seperti dihipnotis, kami menurut saja. Wulan semakin meronta sambil menghardik, "Rob, apa-apaan sih.., Lepas.., lepas! Atau saya teriak".

Doni secepat kilat membungkam mulut Wulan dengan kedua telapak tangannya. Robby setelah berhasil mencopot celana jeans Wulan, sekarang mencoba mencopot celana dalam Wulan. Sampai detik ini, akhirnya aku tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Aku tidak berani melarang Robby dan Doni, karena selain aku sudah merasa terlibat, aku juga sangat terangsang saat melihat kemaluan Wulan yang lebat ditumbuhi rambut-rambut hitam keriting.

Wulan semakin meronta dan mencoba berteriak, tapi cengkeraman tanganku dan bungkaman Doni membuat usahanya sia-sia belaka. Robby segera berlutut di antara kedua belah paha Wulan. Tangan kirinya menekan perut Wulan, tangan kanannya membimbing penisnya menuju kemaluan Wulan. Wulan semakin meronta, membuat Robby kesulitan memasukkan penisnya ke dalam lubang vaginanya. Doni mengambil inisiatif. Dia lalu duduk mengangkangi tepat di atas dada Wulan sambil tangannya terus membungkam mulut Wulan. Tiba-tiba Wulan berteriak keras sekali. Rupanya Robby berhasil merobek selaput dara Wulan dengan penisnya. Secara cepat Robby menggerak-gerakkan pinggulnya maju mundur. Untuk beberapa menit lamanya Wulan meronta, sampai akhirnya dia diam pasrah. Yang dia lakukan hanya menangis terisak-isak.

Doni melepaskan telapak tangannya dari mulut Wulan karena dia merasa Wulan tidak akan berteriak lagi. Lalu dia mencoba menarik T-Shirt Wulan ke atas. Di luar dugaan, Wulan kali ini tidak mengadakan perlawanan, hingga Doni dan aku dapat melepaskan T-Shirt dan BH-nya. Luar biasa, tubuh Wulan dalam keadaan telanjang bulat sangat membangkitkan birahi. Tubuhnya mulus, dan buah dadanya sangat montok. Mungkin ukurannya 36B.

Doni segera menjilati puting susu Wulan, sementara aku melihat Robby semakin kesetanan mengoyak-ngoyak vagina Wulan yang beberapa saat yang lalu masih perawan. Aku sangat terangsang, lalu aku mulai memaksa mencium bibir Wulan. Ugh, nikmat sekali bibirnya yang dingin dan lembut itu. Aku melumat bibirnya dengan sangat bernafsu. Aku tidak tahu apa yang sedang Wulan rasakan. Aku hanya melihat, matanya polos menerawang jauh langit di atas sana yang menguning pertanda malam akan segera tiba. Tangisnya sudah agak mereda, tapi aku masih dapat mendengar isak tangisnya yang tidak sekeras tadi. Mungkin dia sudah sangat putus asa, shock, atau mungkin juga menikmati perlakuan kasar kami.

Tiba-tiba aku mendengar Robby menjerit tertahan. Tubuhnya mengejang. Dia menyemprotkan sperma banyak sekali ke dalam vagina Wulan. Setengah menit kemudian Robby beranjak pergi dari tubuh Wulan lalu tergeletak kelelahan di samping kami. Doni menyuruhku mengambil giliran kedua. Aku bangkit menuju Vagina Wulan. Sepintas aku melihat sperma Robby mengalir ke luar dari mulut vagina Wulan. Warnanya putih kemerahan. Rupanya bercak-bercak merah itu berasal dari darah selaput dara (hymen) Wulan yang robek. Tanpa kesulitan aku berhasil memasukkan penis ke dalam vaginanya. Rasanya nikmat sekali. Licin dan hangat bercampur menjadi satu. Dengan cepat aku mengocok-ngocok penisku maju mundur. Aku mendekap tubuh Wulan. Payudaranya beradu dengan dadaku. Dengan ganas aku melumat bibir Wulan. Doni dan Robby menyaksikan atraksiku dari jarak dua meter. Beberapa menit kemudian aku merasakan penisku sangat tegang dan berdenyut-denyut. Aku sudah mencoba menahan agar ejakulasi dapat diperlama, tapi sia-sia. Spermaku keluar banyak sekali di dalam vagina Wulan. Aku peluk erat Tubuh Wulan sampai dia tidak dapat bernafas.

Setelah puas, aku berikan giliran berikutnya kepada Doni. Aku lalu duduk di samping Robby memandangi Doni yang dengan sangat bernafsu menikmati tubuh Wulan. Karena lelah, kurebahkan tubuhku telentang sambil memandangi langit yang semakin menggelap.

Beberapa menit kemudian Doni ejakulasi di dalam vagina. Setelah Doni puas, ternyata Robby bangkit kembali nafsunya. Dia menghampiri Wulan. Tapi kali ini dia malah membalikkan tubuh Wulan hingga tengkurap. Aku tidak tahu apa yang akan diperbuatnya. Ternyata Robby hendak melakukan anal seks. Wulan menjerit saat anusnya ditembus penis Robby. Mendengar itu Robby malah semakin kesetanan. Dia menjambak rambut Wulan ke belakang hingga muka Wulan menengadah ke atas. Dengan sigap Doni menghampiri tubuh Wulan. Aku melihat Doni dengan sangat kasar meremas-remas buah dada Wulan. Wulan mengiba, "Aduhh..., sudah dong Ro..., ampun..., sakit Rob". Tapi Robby dan Doni tidak menghiraukannya.

"Oh, sempit sekali", teriak Robby mengomentari lubang dubur Wulan yang lebih sempit dari vaginanya. Setiap Robby menarik penisnya aku lihat dubur Wulan monyong. Sebaliknya saat Robby menusukkan penisnya, dubur Wulan menjadi kempot. Tidak lama, Robby mengalami ejakulasi yang kedua kalinya. Setelah puas, sekarang giliran Doni menyodomi Wulan. Melihat itu aku jadi kasihan juga terhadap Wulan. Di matanya aku melihat beban penderitaan yang amat berat, tapi sekaligus aku juga melihat sisa-sisa ketegarannya menghadapi perlakuan ini.

Setelah Doni puas, Robby dan Doni menyuruhku menikmati tubuh Wulan. Tapi tiba-tiba timbul rasa kasihan dalam hatiku. Aku katakan bahwa aku sudah sangat lelah dan hari sudah menjelang gelap. Kami sepakat kembali ke perkemahan. Robby dan Doni segera berpakaian lalu beranjak meninggalkan kami sambil menenteng kayu bakar. Wulan dengan tertatih-tatih mengambil celana dalam, jeans, lalu mengenakannya. Aku tanyakan apakah Wulan mau mandi dulu, dan dia hanya menggeleng. Dalam keremangan senja aku masih dapat melihat matanya yang indah berkaca-kaca. Kuambil T-Shirtnya. Karena basah, aku mengepak-ngepakkan agar lebih kering, lalu aku berikan T-Shirt itu bersama-sama dengan BH-nya. Robby dan Doni menunggu kami di atas tebing sungai. Setelah Wulan dan aku lengkap berpakaian, kami beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Robby dan Doni berjalan tujuh meter di depanku dan Wulan.

Di perkemahan, Fadli dan Lia menunggu kami dengan cemas. Lalu kami mengarang cerita agar peristiwa itu tidak menyebar. Untunglah Fadli dan Lia percaya, dan Wulan hanya diam saja.

Tepat tengah malam di saat orang lain merayakan pergantian tahun baru, kami melewatinya dengan hambar. Tidak banyak keceriaan kala itu. Kami lebih banyak diam, walau Fadli berusaha mencairkan keheningan malam dengan gitarnya.

Esoknya, pagi-pagi sekali Wulan minta segera pulang. Kami maklum lalu segera membongkar tenda. Untunglah sesampainya di kota kami, Wulan merahasiakan peristiwa ini. Tapi tiga bulan berikutnya Wulan menghubungiku dan dia dengan memohon meminta aku bertanggung jawab atas kehamilannya. Aku sempat kaget karena belum tentu anak yang dikandungnya itu adalah anakku. Tapi raut wajahnya yang sangat mengiba, membuatku kasihan lalu menyanggupi menikahinya.

Satu bulan berikutnya kami resmi menikah. Wulan minta agar aku memboyongnya meninggalkan kota ini dan mencari pekerjaan di kota lain. Sekarang "anak kami" sudah dapat berjalan. Lucu sekali. Matanya indah seperti mata ibunya. Kadang terpikir untuk mengetahui anak siapa sebenarnya "anak kami" ini. Tapi kemudian aku menguburnya dalam-dalam. Aku khawatir kebahagiaan rumah tangga kami akan hancur bila ternyata kenyataan pahitlah yang kami dapati.

Akhir Desember 1997 kami menikmati pergantian tahun baru di rumah saja. Peristiwa ini kembali menguak kenangan buruknya. Matanya berkaca-kaca. Aku memeluk dan membelai rambutnya. Beberapa menit kemudian, dalam dekapanku dia mengaku bahwa sebelum peristiwa itu terjadi, sebenarnya dia sudah jatuh cinta padaku. Dia ikut mencari kayu bakar karena dia ingin bisa dekat denganku.
Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal. Pengakuannya ini membuat hatiku pedih tak terkira.

Dukun Cabul & Ibu Rumah Tangga

Vivi tidak bisa menerima sikap dan tindakan Ardi akhir-akhir ini yang ia lihat sudah melupakan dan membiarkan keluarganya. Tindakan ini dilihat Vivi saat Ardi akan pergi ke luar kota untuk meninjau perusahaannya di kota lain. Vivi menduga pasti Ardi telah melakukan suatu perselingkuhan dan menyeleweng dikarenakan Ardi tidak lagi memberikan nafkah batin untuk Vivi, sedangkan Ardi selalu pergi ke luar kota setiap minggu dengan begitu hubungan seks-nya dengan istrinya pasti tersalur, sedang saat ini Ardi telah lupa akan kewajibannya. Siapa wanita yang telah merebut Ardi dari tangannya, Vivi tidak mengetahui. Oleh sebab itu Vivi sering merenung dan berpikir apakah selama ini ia tidak melayani kebutuhan dan kesenangan suaminya, namun semua itu ia rasa tidak mungkin dan sepengetahuannya ia selalu melayani dan melaksanakan kesenangan dan kesukaan suaminya. Sedang kalau ia lihat bentuk tubuhnya yang mungkin telah berubah? namun ia sadari tidak mungkin juga, Vivi menyadari ia dan Ardi telah berumah tangga kurang lebih 6 tahun dan dikaruniai 2 orang anak yang paling besar berumur 5 tahun, mustahil bentuk tubuhnya akan menyebabkan Ardi berpaling.


Di depan cermin sering Vivi mengamati tubuhnya, ia pun rajin senam dan melangsingkan tubuhnya, namun apa gerangan Ardi berubah dan tidak mau menjamahnya? Secara fisik Vivi memang seorang ibu rumah tangga yang telah beranak dua, namun jika melihat tubuh dan kulitnya banyak membuat gadis yang iri karena bentuk tubuhnya amat serasi dan menggiurkan setiap lelaki yang menatapnya. Umur Vivi baru 32 tahun, di saat itu ia butuh pelampiasan birahi jika malam hari menjelang, namun sikap Ardi telah membuatnya menjadi tidak percaya diri. Atas saran teman karibnya yang juga ibu rumah tangga dan wanita karir, maka Vivi disarankan untuk meminta tolong pada seorang dukun sakti yang bisa mengembalikan suami dan membuat Ardi bertekuk lutut kembali. Ini telah lama di coba Lusi, dulunya suaminya juga menyeleweng. Namun atas bantuan dukun itu suaminya telah melupakan wanita simpanannya.

Dengan saran dan nasehat dari karibnya itu Vivi memberanikan diri untuk datang ke tempat dukun itu walaupun jaraknya agak jauh kurang lebih 2 jam perjalanan dengan mobilnya. Dengan bantuan Lusi, Vivi mengemudikan Balenonya ke tempat dukun itu. Mereka berangkat pagi harinya. Sesampai di gubuk dukun yang memang terpencil di sebuah kampung itu, Vivi memarkirkan mobilnya di samping gubuk itu. Lalu Lusi mengetuk pintu gubuk itu dan dengan adanya sahutan dari dalam mempersilakan mereka berdua masuk, di dalam telah ada dukun itu yang duduk dengan sambil menghisap rokoknya.

"Ooo... Bu Lusi? ada apa Bu? ada yang bisa saya bantu?" dukun itu berbasa basi.
"Eee... ini Mbah, teman saya ini ada masalah dengan suaminya, namun ia ingin suaminya seperti sedia kala lagi..." jawab Lusi.

Lalu Lusi memperkenalkan sang dukun yang bernama Mbah Dudu itu kepada Vivi. Sambil berjabat tangan Mbah Dudu mempersilakan kedua wanita itu untuk duduk bersila di lantai gubuknya itu. Sepintas Vivi merasa agak risih dari mulai ia memasuki gubuk itu. Ada perasaan tidak enak namun karena keinginannya mengembalikan suaminya ia tidak mengambil pusing semuanya. Tanpa ia sadari dari saat ia masuk dan bersalaman dengan Vivi mata mbah dukun itu tidak henti-hentinya memandang ke arah Vivi. Lalu ia memanggil Vivi untuk maju selangkah ke arahnya, dan Vivi diperintahkan untuk memasukkan tangannya ke dalam wajan yang berisi air kembang, lalu Mbah Dudu membakar menyan dan membaca mantranya.

Tidak berapa lama kemudian ia buka matanya dan berkata bahwa mata hati suaminya telah dipengaruhi oleh wanita simpanan Ardi dan membuat Ardi melupakan keluarganya. Atas saran mbah dukun supaya Ardi kembali maka Vivi harus memakai jimat yang akan dibuatkannya, asal Vivi mau menjalani syarat-syaratnya dan itu semua terpulang kepada Vivi. Karena besarnya keinginan agar Ardi kembali, maka Vivi menyanggupi segala syarat-syaratnya. Setelah itu sang dukun berkata bahwa besoknya Vivi akan mendapatkan jimat itu dan akan dipasangkan ke tubuh Vivi dan akan dibuatkan malam ini. Mbah Dudu adalah lelaki asal Nias yang telah lama memiliki ilmu yang amat sakti. Tidak sedikit orang yang telah dibantunya. Mbah Dudu tinggal seorang diri di gubuk itu dan tidak memiliki istri. Umurnya telah beranjak tua yaitu 70 tahun namun fisik dan sosoknya tidak menggambarkan ketuaan. Selanjutnya Vivi minta diri dan menitipkan amlop untuk memenuhi syarat-syaratnya, dan berjanji besok akan datang. Lalu Lusi minta diri kepada Mbah Dudu, lalu mereka pulang ke rumah dan besok Vivi harus mengambil jimatnya.

Besok hari yang telah ditentukan, Vivi minta Lusi membantu menemaninya ke tempat dukun itu, namun karena adanya kesibukan di kantornya maka Lusi tidak dapat menemani. Dan berangkatlah Vivi mengendarai Balenonya seorang diri ke tempat dukun itu. Lebih kurang 1,5 jam perjalanan Vivi, sampailah di gubuk itu dan memarkirkan mobilnya di samping gubuk, sedangkan hari saat itu telah mendung dan berangin sepertinya hari akan hujan. Lalu Vivi mengetuk pintu gubuk dan kemudian pintu itu dibuka Dudu dari dalam dan mempersilakan masuk. Lalu Vivi masuk ke gubuk dan duduk di lantai. Lalu Mbah Dudu meminta Vivi untuk langsung ke depan dan menerima saran dan cara-cara memakai jimat itu. Vivi diharuskan untuk berbaring dan memakai kain sarung lalu menelentangkan diri, karena jimat itu akan dipasangkan pada tubuh Vivi yang biasa di sentuh suaminya. Lalu Vivi minta ijin untuk memakai sarung yang dipinjamkan sang dukun di kamar yang telah tersedia.

Dalam kamar itu, hanya ada satu dipan kayu yang telah lama dan saat itu Vivi membuka seluruh pakaianya, sedang BH dan CD-nya tetap terpasang pada tubuhnya. Sesaat kemudian sang dukun memasuki kamar itu dan minta Vivi berbaring di dipan itu. Vivi menuruti kata dukun itu, lalu Mbah Dudu memulai melakukan aktifitasnya dengan memasangkan cairan jimat itu mula-mula ke kulit muka Vivi lalu turun ke leher jenjang dan ke dada yang masih tertutup BH. Sesampai pada dada Vivi sang dukun menyadari adanya getaran birahinya mulai datang dan lalu di sekitar dada Vivi ia oleskan cairan itu, tangan sang dukun masuk ke dalam dada yang terbungkus BH. Di dalam BH itu tangan Dudu memilin dan memilintir puting susu Vivi, dengan cara itu Vivi secara naluri seksnya terbangkit dan membiarkan tindakan sang dukun yang memang kelewatan dari tugasnya itu, Vivi hanya diam. Lalu sang dukun membuka pengait BH Vivi dan melemparkan BH itu ke sudut kaki dipan itu dan terpampanglah sepasang dada montok yang putih mulus kemerahan karena gairah yang dipancing Mbah Dudu itu.

Di sekitar dada itu sang dukun mengoleskan jimatnya berulang-ulang sampai Vivi merasa tidak kuat menahan nafsunya. Lalu sang dukun tangannya turun ke perut dan ke selangkangan Vivi. Di situ tangan sang dukun memasuki selangkangan Vivi, tindakan ini membuat Vivi protes,

"Jangan! saya mau diapakan Mbah?" tanyanya.
"Ooo... ini adalah pengobatannya, Lusi pun dulunya begini juga," jawab mbah dukun sambil mengatur nafasnya yang terasa sesak menahan gejolak nafsu.

Di lubang kemaluan Vivi, jari tangan sang dukun terus mengorek-ngorek isi kemaluan Vivi sehingga Vivi merasakan ia akan menumpahkan air surgawinya saat itu. Sambil membuka kain sarung yang melilit tubuh Vivi sang dukun lalu menurunkan CD yang menutup lubang kemaluan Vivi itu. Lalu ia letakkan CD Vivi di samping dipan yang beralaskan bludu usang itu. Sesaat kemudian Vivi telah telanjang bulat dan jari tangan sang dukun tidak henti-hentinya beraksi di sekitar daerah sensitif tubuh Vivi. Sedang jimatnya telah dioleskan pada seluruh bagian-bagian tubuh Vivi.

Lalu tibalah saat untuk memasukkan keampuhan jimatnya, maka sang dukun minta kepada Vivi untuk mau bersengggama karena jimat itu tidak akan bisa dipakai jika Vivi tidak melakukan senggama dengan dukun itu. Karena Vivi telah merasa kepalang basah dan ingin niatnya kesampaian maka ia ijinkan sang dukun melakukan persenggamaan. Lalu tangan sang dukun membuka paha Vivi yang mulus terawat itu. Lalu ia buka lubang kemaluan Vivi dengan tangannya dan memainkan klitoris Vivi dan kembali Vivi histeris ingin dituntaskan nafsu yang telah sampai di kepalanya, ditambah telah beberapa bulan tidak berhubungan seks dengan suaminya. Mbah dukun yang telah sama-sama-sama bugil dengan Vivi lalu memasukkan batang kemaluannya yang cukup besar itu dan kuat ke dalam lubang kemaluan Vivi yang telah dibasahi air kewanitaan Vivi yang tampaknya siap untuk melakukan penetrasi ke dalam lubang kemaluan yang telah basah itu. Setelah dipaksakan agak keras lalu batang kemaluan yang tegak menantang masuk seluruhnya ke dalam lubang kemaluan Vivi, dan Mbah Dudu melakukan gerakan maju mundur, sedang tangannya tidak henti-hentinya memilin dan menekan pinggul padat Vivi itu. Buah dada Vivi tidak luput dari jelajahan tangan sang dukun.

Lebih kurang 30 menit lubang kemaluan Vivi digenjot dengan paksa lalu sang dukun barulah sampai klimaks dengan menumpahkan air maninya ke dalam lubang kemaluan itu sebanyak-banyaknya. Sedangkan air yang keluar dari lubang kemaluan Vivi itu ia oleskan ke lidah Vivi untuk kasiat bahwa Vivi tidak bisa dilupakan suaminya. Dalam persenggamaan itu Vivi sempat orgasme 3 kali, itu pun saat ia terengah-engah di saat batang kemaluan sang dukun mengaduk-aduk isi kemaluanya tadi. Sejam kemudian barulah permainan itu selesai setelah sang dukun minta permainan dilakukan 2 kali. Setelah itu Vivi minta diri pulang dan membawa yang akan ia pakaikan di rumahnya saat mandi. Mbah dukun mengatakan ada jimat yang akan dipasang di dalam kamar Vivi namun belum siap, dan mbah dukun berjanji akan mengantarkannya ke rumah Vivi 2 hari lagi.

Tepat 2 hari kemudian sang dukun mendatangi rumah Vivi yang megah. Saat itu suami Vivi belum pulang dari luar kota dan di rumah saat itu hanya ada ia dan seorang pembantunya yang sedang menjaga anak-anaknya. Sang dukun berkata, "Bu Vivi, jimat ini akan saya pasangkan pada kamar Ibu nanti malam," sedangkan Vivi merasa khawatir, bagaimana jika suaminya pulang. Namun karena kesaktiannya, sang dukun berkata, "Bu Vivi nggak usah khawatir, suami Ibu pulang lusa, sedang ia sekarang menurut penglihatan saya sedang di Lampung," kata sang dukun. Lalu bagaimana ia menerangkan kepada pembantunya karena adanya kehadiran dukun tua itu? Lalu ia hanya berkata bahwa familinya dari kampung dan menumpang barang 1 hari di rumahnya. Lalu Vivi mempersilakan sang dukun untuk istirahat di sebuah kamar yang memang diperuntukkan untuk tamu. Lalu sang dukun memasuki kamar yang telah disediakan.

Malam harinya saat akan memasangkan jimat di kamar Vivi, dilakukan pada pukul 9.00 malam, sedang pembantunya telah tidur di kamar belakang, tempat kamar tidur pembantu memang jauh di belakang dan tidak mengganggu ke rumah induk tempat kamar Vivi berada. Di dalam kamar itu sang dukun melakukan ritualnya dengan membaca mantera, lalu ia membakar menyan, sedang Vivi duduk diam melihat apa yang dilakukan sang dukun dari atas tempat tidurnya. Lalu sang dukun berkata, "Sebaiknya jimat ini kita pasangkan pada saat tepat jam 12.00 malam nanti, berarti masih ada waktu 3 jam lagi, Bu Vivi..." katanya. "Sekarang sebaiknya kita ngomong-ngomong saja dulu menunggu waktu," kata sang dukun. "Baiklah Mbah," lalu Vivi mempersilakan sang dukun keluar kamar. Bagaimanapun ia merasa berat hati untuk membawa dukun itu ke dalam kamar pribadinya. Sang dukun berkata, "Tidak usah keluar... Bu Vivi... di sini saja." Lalu sang dukun berdiri dari duduknya dan menuju ke arah Vivi duduk dan mbah dukun itu juga duduk di samping Vivi. Lalu tangannya menggapai tangan Vivi dan berkata, "Sebaiknya kita berdua melakukan seperti saat Ibu di gubuk saya, sebab jika tidak para jin yang membantu saya akan lari dan tidak mau menolong Ibu," kata mbah dukun. Vivi hanya bergidik, bulu kuduknya merinding. Haruskah ia mengulangi kesalahan saat ia harus bersenggama dengan dukun itu di gubuknya? Namun karena adanya pengaruh dan keinginan Vivi maka ia biarkan sang dukun mengulangi perbuatan maksiat itu di kamarnya, saat itu Vivi memang merasa menjadi seorang wanita sempurna karena ia telah mendapatkan siraman batin dari dukun tua itu meskipun tidak ia dapatkan dari suaminya.

Lebih kurang 2 jam mereka berdua mengayuh samudera kenikmatan bersama sang dukun dan membuat Vivi orgasme berulang-ulang dan membuat lubang kemaluannya sampai lecet karena kebuasan batang kemaluan dukun yang sangat besar itu. Lalu tepat pada jam 12 malam barulah jimat itu terpasang pada bawah ranjang Vivi dan menjelang pagi mereka terus melakukan hubungan seksual dengan menggebu-gebu. Lalu Vivi tertidur dan tidak menyadari hari telah pagi dan sang dukun telah pergi, sedang Vivi merasa tubuhnya pegal-pegal dan tulangnya serasa mau lolos. Sejak saat itu memang jimat pemberian sang dukun ada perubahan pada diri suami Vivi dan ia sangat berterima kasih dan lalu ia mendatangi sang dukun. Sedang sang dukun cuma minta Vivi tidak melupakannya, dengan cara Vivi harus 2 kali dalam sebulan datang untuk memberikan jatah hubungan seks kepada sang dukun seperti Lusi juga melakukan hal yang sama. Memang setelah itu Vivi selalu rajin mendatangi sang dukun dan terkadang sang dukun yang datang ke rumah Vivi untuk minta jatah senggamanya. Memang sebagai dukun ilmu hitam, Mbah Dudu harus mensenggamai pasiennya, karena dengan demikian si pasien akan mampu disembuhkan dan ilmu sang dukun dapat dipelihara.

Dapur Kenangan

Sampai saat ini sebenarnya saya sedikit bingung bagaimana memulai ceritanya. Tetapi perlu anda ketahui bahwa yang saya ceritakan ini benar-benar terjadi pada diri saya. Saat ini saya berusia 20 tahun dan sudah menikah. Saya sampai saat ini masih kuliah di sebuah perguruan tinggi di Depok Semester lima. Saya menikah dengan suami saya Bang Hamzah yang lebih tua 8 tahun dari saya karena dijodohkan oleh orangtua saya pada saat saya masih berusia 18 tahun dan baru saja masuk kuliah. Namun saya sangat mencintai suami saya. Begitu pula suami saya terhadap saya (saya yakin itu benar).

Karena saya dilahirkan dari keluarga yang taat agama, maka saya pun seorang yang taat agama.Setelah pernikahan menginjak usia 1 tahun, suami saya oleh perusahaan ditugasi untuk bekerja di pabrik di daerah bogor. Sebagai fasilitas, kami diberikan sebuah rumah sederhana di komplek perusahaan. Sebagai seorang istri yang taat, saya menurutinya pindah ke tempat itu. Komplek tempat tinggal saya ternyata masih kosong, bahkan di blok tempat saya tinggal, baru ada rumah kami dan sebuah rumah lagi yang dihuni, itu pun cukup jauh letaknya dari rumah kami.


Karena rumah kami masih sangat asli kami belum memiliki dapur, sehingga jika kami mau memasak saya harus memasak di halaman belakang yang terbuka, ciri khas rumah sederhana. Akhirnya suami memutuskan untuk membangun dapur dan ruang makan di sisa tanah yang tersisa, kebetulan ada seorang tukang bangunan yang menawarkan jasanya. Karena kami tidak merasa memiliki barang berharga, kami mempercayai mereka mengerjakan dapur tersebut tanpa harus kami tunggui, suami tetap berangkat ke kantor sedangkan saya tetap kuliah.

Sampai suatu hari, saya sedang libur dan suami saya tetap ke kantor. Pagi itu setelah mengantar Bang Hamzah sampai ke depan gerbang, saya pun masuk ke rumah. Sebenarnya perasaan saya sedikit tidak enak di rumah sendirian karena lingkungan kami yang sepi. Sampai ketika beberapa saat kemudian Pak Sastro dan dua orang temannya datang untuk meneruskan kerjanya. Dia tampak cukup terkejut melihat saya ada di rumah, karena saya tidak bilang sebelumnya bahwa saya libur.

"Eh, kok Neng Anggie nggak berangkat kuliah..?"
"Iya nih Pak Sastro, lagi libur.." jawab saya sambil membukakan pintu rumah.
"Kalo gitu saya mau nerusin kerja di belakang Neng.." katanya.
"Oh, silahkan..!" kata saya.

Tidak lama kemudian mereka masuk ke belakang, dan saya mengambil sebuah majalah untuk membaca di kamar tidur saya. Namun ketika baru saja saya mau menuju tempat tidur, saya lihat melalui jendela kamar Pak Satro sedang mengganti pakaiannya dengan pakaian kotor yang biasa dikenakan saat bekerja. Dan alangkah terkejutnya saya menyaksikan bagaimana Pak Sastro tidak menggunakan pakaian dalam. Sehingga saya dapat melihat dengan jelas otot tubuhnya yang bagus dan yang paling penting penisnya yang sangat besar jika dibandingkan milik suami saya.

Saya seketika terkesima sampai tidak sadar kalau Pak Satro juga memandang saya.
"Eh, ada apa Neng..?" katanya sambil menatap ke arah saya yang masih dalam keadaan telanjang dan saya lihat penis itu mengacung ke atas sehing terlihat lebih besar lagi.
Saya terkejut dan malu sehingga cepat-cepat menutup jendela sambil nafas jadi terengah-engah. Seketika diri saya diliputi perasaan aneh, belum pernah saya melihat laki-laki telanjang sebelumnya selain suami, bahkan jika sedang berhubungan sex dengan suami saya, suami masih menutupi tubuh kami dengan selimut, sehingga tidak terlihat seluruhnya tubuh kami.

Saya mencoba mengalihkan persaan saya dengan membaca, tetapi tetap saja tidak dapat hilang. Akhirnya saya putuskan untuk mandi dengan air dingin. Cepat-cepat saya masuk ke kamar mandi dan mandi. Setelah selesai, saya baru sadar saya tidak membawa handuk karena tadi terburu-buru, sedangkan pakaian yang saya kenakan sudah saya basahi dan penuh sabun karena saya rendam. Saya bingung, namun akhirnya saya putuskan untuk berlari saja ke kamar tidur, toh jaraknya dekat dan para tukang bangunan ada di halaman belakang dan pintunya tertutup. Saya yakin mereka tidak akan melihat, dan saya pun mulai berlari ke arah kamar saya yang pintunya terbuka.

Namun baru saya akan masuk ke kamar, tubuh saya menabrak sesuatu hingga terjatuh. Dan alangkah terkejutnya, ternyata yang saya tabrak itu adalah Pak Sastro.
"Maaf Neng.., tadi saya cari Neng Anggie tapi Neng Anggie nggak ada di kamar. Baru saya mau keluar, eh Neng Anggi nabrak saya.." katanya dengan santai seolah tidak melihat kalau saya sedang telanjang bulat.

Perlu diketahui, saya memiliki kulit yang sangat putih mulus dan walau tidak terlalu tinggi bahkan sedikit mungil (152 cm), namun tubuh saya sangat proposional dengan dua buah payudara berukuran 34C yang sedikit kebesaran dibandingkan ukuran tubuh saya.

Saya begitu malu berusah bangkit sambil mentupi dada dan bagian bawah saya.
Namun Pak Satro segera menangkap tangan saya dan berkata, "Nggak usah malu Neng.., tadi Neng juga udah ngeliat punya saya, saya nggak malu kok.."
"Jangan Pak..!" kata saya, namun pak satro malah mengangkat saya ke arah halaman belakang menuju dua orang temannya.

Saya berusaha memberontak dan berteriak, tapi Pak Sastro dengan santainya malah berkata, "Tenang aja Neng.., di sini sepi. Suara teriakan Neng nggak bakal ada yang denger.."
Melihat tubuh telanjang saya, kedua teman Pak Sastro segera bersorak kegirangan.
"Wah, bagus betul ni tetek.." kata yang satu sambil membetot dan meremas payudara saya sekeras-kerasnya."Tolong jangan perkosa saya, saya nggak bakalan lapor siapa-siapa..." kata saya.
"Tenang aja deh kamu nikmati aja..." kata teman Pak Sastro yang badannya sedikit gendut sambil tangannya meraba bulu kemaluan saya, sedang Pak Satro masih memegang kedua tangan saya dengan kencang.

Tidak berapa lama kemudian saya lihat ketiganya mulai melepas pakaian mereka. Saya melihat tubuh-tubuh mereka yang mengkilat karena keringat dan penis mereka yang mengacung karena nafsunya. Dengan cepat mereka membaringkan tubuh saya di atas pasir. Kemudian Pak Sastro mulai menjilati kemaluan saya.
"Wah.., memeknya wangi loh.." katanya.

Saya segera berontak, namun kedua teman Pak Satro segera memegangi kedua tangan dan kaki saya. Yang botak memegang kaki, sedangkan yang gendut memegang kedua tangan saya sambil menghisap puting susu saya. Tidak berapa lama kemudian Pak Sastro mulai mengarahkan penisnya yang besar ke lubang kemaluan saya. Dan ternyata, yang tidak saya duga sebelumnya, rasanya ternyata sangat nikmat. Benar-benar berbeda dengan suami saya. Namun karena malu, saya terus berontak sampai Pak Sastro mulai mengoyangkan penisnya dengan gerakan yang kasar, tapi entah kenapa saya justru merasa kenikmatan yang luar biasa, sehingga tanpa sadar saya berhenti berontak dan mulai mengikuti irama goyangnya.

Melihat itu kedua teman Pak Sastro tertawa dan mengendurkan pegangannya. Mendengar tawa mereka, saya sadar namun mau memberontak lagi saya merasa tanggung, sehingga yang terjadi adalah saya terlihat seperti sedang berpura-pura mau berontak namun walau dilepaskan saya tetap tidak berusaha melepaskan diri dari Pak Sastro.

Tidak lama kemudian Pak Sastro membalikkan tubuh saya dalam posisi doggie tanpa melepaskan miliknya dari kemaluan saya. Melihat itu, tanpa dikomando si gendut langsung memasukkan penisnya ke mulut saya. Saya berusaha berontak, namun si gendut menjambak saya dengan keras, sehingga saya menurutinya. Saya benar-benar mengalami sensasi yang luar biasa, sehingga beberapa saat kemudian saya mengalami orgasme yang luar biasa yang belum pernah saya alami sebelumnya. Tubuh saya menjadi lemas dan jatuh tertelungkup. Namun tampaknya Pak Satro belum selesai, sehingga genjotannya dipercepat sampai kemudian dia mencapai kelimaks dan memuntahkan spermanya ke dalam rahim saya.

Begitu Pak Sastro mencabutnya, si botak langsung memasukkan kemaluannya ke dalam milik saya tanpa memberi waktu untuk istirahat. Tidak lama kemudian si gendut mencapai kelimaks, dia menekan kemaluannya ke dalam mulut saya dan tanpa aba- aba, langsung menembakkan spermanya ke dalam mulut saya. Banyak sekali spermanya yang saya rasakan di mulut saya, namun ketika saya hendak membuang sperma itu, Pak Sastro yang saya lihat sedang duduk beristirahat berkata.
"Jangan dibuang dulu, cepet kamu kumur-kumur mani itu yang lama... pasti nikmat... ha.. ha.. ha.."
Dan seperti seekor kerbau yang bodoh, saya menurutinya berkumur dengan seperma itu.

Sementara si botak terus mengocok penisnya di dalam kemaluan saya, saya melihat Pak Sastro masuk ke dalam rumah saya dan keluar kembali dengan membawa sebuah terong besar yang saya beli tadi pagi untuk saya masak serta sebuah kalung mutiara imitasi milik saya. Tidak berapa lama kemudian si botak mencapai kelimaks dan saya pun terjatuh lemas di atas pasir tersebut. Melihat temannya sudah selesai, Pak Satro menghampiri saya sambil memaksa saya kembali ke posisi merangkak.

"Sambil menunggu tenaga kita kembali pulih, mari kita lihat hiburan ini.." katanya sambil memasukkan terong ungu yang sangat besar itu ke dalam vagina saya.
Tentu saja saya terkejut dan berusaha memberontak, tetapi kedua temannya segera memegangi saya.
Dan tidak lama kemudian, "Bless..!" terong itu masuk 3/4-nya ke dalam vagina saya.
Rasa sakitnya benar-benar luar biasa, sehingga saya menggoyang-goyangkan pantat saya ke kiri dan kanan.

"Lihat anjing ini.. ekornya aneh.. ha... ha... ha..." kata si botak.
"Sekarang kamu merangkak keliling halaman belakang ini, ayo cepat..!" kata si gendut.
Dengan perlahan saya merangkak, dan ternyata rasanya benar-benar nikmat.

Karena rasa geli-geli nikmat itu, sedikit-sedikit saya berhenti, tetapi setiap saya berhenti dengan segera mereka mencambuk pantat saya. Tidak berapa lama saya mencapai kelimaks, melihat itu mereka tertawa. Pak Sastro kemudian menghampiri saya, lalu mulai memasukkan kalung mutiara imitasi yang sebesar kelereng tadi satu persatu ke dalam lubang anus saya.
Saya kembali menjerit, tetapi dengan tenang dia berkata, "Tahan dikit ya.., nanti enak kok..!"

Sampai akhirnya, kemudian kalung itu tinggal seperempatnya yang terlihat, lalu sambil menggenggam sisa kalung tersebut dia berkata.
"Sekarang kamu maju pelan-pelan.."
Dan ketika saya bergerak, kembali kalung itu tercabut pelan-pelan dari anus saya sampai habis. Begitulah mereka mempermainkan saya sampai kemudian mereka siap memperkosa saya lagi berulang-ulang sampai sore hari, dan anehnya setiap mereka kelimaks saya pun turut orgasme dengan arti saya menikmati diperkosa.

Dan anehnya lagi, malam harinya ketika suami saya pulang, saya sama sekali tidak melaporkan kejadian tersebut kepadanya, sehingga pemerkosaan tersebut terus terjadi berulang-ulang setiap saya sedang tidak kuliah. Dan setiap memperkosa, mereka selalu menyelingi dengan mengerjai saya dengan cara yang aneh-aneh, dan itu berlangsung sampai dapur saya selesai dibangun.

Maaf Bu... Maaf

Naskah di bawah ini merupakan saduran dari kisah sebenarnya seorang ibu rumah tangga, yang merupakan pengalaman dari para ibu rumah tangga yang saya kumpulkan sejak tahun 1980 dalam satu buku berjudul "Benang Merah".

Malam itu aku bertengkar lagi dengan suamiku. Persoalannya sepele saja, suamiku merasa tidak diperhatikan. Pasalnya ketika dia pulang dari kantor, sore itu aku tidak menyediakan paganan apa-apa untuk teman minum kopinya. Hal itu mulanya tidak begitu serius. Akan tetapi pada saat akan makan malam, aku juga tidak memasak makanan kesenangannya. Nah, itulah yang menjadi pemicu persoalan. Suamiku jadi agak uring-uringan. Dia merasa telah membanting tulang seharian mencari nafkah untuk keluarganya, akan tetapi untuk kepentingannya istrinya tidak memperhatikan.


Sebenarnya dalam hatiku, aku merasa bersalah. Tetapi perasaan egoku membuatku tidak mau mengakui kesalahan itu. Malahan aku melemparkan kesalahan itu kepada suamiku. Hal ini membuat suamiku menjadi tambah emosi dan akhirnya dia pindah tidur ke kamar lain. Aku juga tidak tahu mengapa akhir-akhir ini aku agak segan melayani suamiku. Bukan dalam masalah perut saja, akan tetapi juga dalam masalah yang terletak agak di bawah perut. Dalam hubungan suami istri belakangan ini aku agak malas untuk melakukan hubungan badan dengan suamiku. Hal ini kurasakan baru belakangan-belakangan ini saja. Kupikir apakah mungkin disebabkan belakangan ini suamiku selalu mengalami ejakulasi dini, sehingga begitu selesai dia terus melingkar membelakangiku dan tidur dengan nyenyak tanpa perduli apa-apa lagi, sedangkan aku masih belum merasakan apa-apa dan harus terbaring dengan mata melotot dalam perasaan yang tidak menentu.

Memang posisi suamiku sebenarnya cukup baik di tempat tugasnya. Suaminya bekerja pada sebuah perusahaan pertambangan dan sebagai orang kedua di perusahaan itu. Tugas suamiku juga tidak terbatas. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas jalannya penambangan, maka suamiku praktis bersiaga selama 24 jam. Kadang-kadang apabila ada kesulitan pada malam hari, suamiku harus berangkat menyelesaikannya. Demikian juga karena sifat tugasnya itu suamiku sering berpergian ke luar daerah. Oleh karena itulah sebenarnya dapat dimaklumi apabila suaminya agak uring-uringan malam itu disebabkan dia merasa tidak diperhatikan olehku sebagai istrinya. Ditambah lagi kami tinggal dalam komplek perumahan pertambangan dengan lingkungan yang masih terpencil dan jauh dari keramaian apalagi pusat hiburan.

Rumah yang kami tempati memang sangat besar sekali, karena dibuat pada zaman Belanda. Demikian juga pekarangan rumah itu sangat luas sekali dengan pepohonan yang rimbun dan sangat tua umurnya. Karena di daerah itu sekolah hanya sampai pada tingkat SMP saja, maka tiga orang anak kami semuanya tinggal bersama neneknya di Jakarta, sehingga di rumah itu praktis hanya aku dan suami saja yang tinggal besama 2 orang pembantu. Aku dan suamiku menempati kamar di rumah induk dan para pembantu di belakang. Sedangkan kamar lainnya di rumah induk yang diperuntukkan anak-anakku terpaksa kosong dan terisi hanya apabila anak-anakku datang berlibur. Apabila suamiku tidak ada di rumah maka praktis tinggal aku dan kedua pembantu itu saja yang ada dalam rumah. Apalagi bila malam hari ketika kedua pembantuku sudah tidur semua, maka tinggal aku sendiri yang digelut sepi. Jadi tidak heran juga akhirnya kebosanan jualah yang melanda diriku sehingga terbawa dalam sikapku sehari-hari dalam melayani suami.

Pada saat suamiku pindah kamar sebenarnya aku ingin sekali meminta maaf kepadanya, akan tetapi egoku timbul kembali, sehingga kubiarkan saja suamiku keluar kamar. Kupikir tidak lama lagi suamiku akan berbaikan karena aku hafal benar akan sifatnya. Dia tidak pernah marah sampai berlarut-larut. Sebentar saja akan reda dan menemuiku kembali. Kalau sudah begitu maka suamiku biasanya terus mencumbuku dan kami akan terlibat dalam suatu hubungan suami-istri yang dahsyat. Oleh karena itu pada saat aku akan tidur kubiarkan saja lampu kamarku menyala dan tidak memasang lampu tidur. Selanjutnya aku mempersiapkan diri untuk menerima suamiku dengan mengenakan baju tidur yang tipis dan longgar yang biasa kukenakan apabila akan melakukan hubungan badan dengan suamiku. Selain itu aku juga sengaja tidak mengenakan BH maupun celana dalam sama sekali.

Kira-kira lewat tengah malam antara jam 12:30 ketika baru saja aku terlelap tidur, aku merasakan secara samar-samar ada sesosok bayangan yang masuk ke kamarku dan langsung mematikan lampu kamar tidurku sehingga keadaan menjadi gelap gulita. Dalam keadaan antara sadar dan tiada serta dalam suasana kamar yang telah menjadi gelap gulita aku berpikir suamiku kini sudah reda marahnya dan mengajak berbaikan seperti kebiasaannya dengan melakukan hubungan intim suami istri. Oleh karena itu secara refleks aku pun segera merenggangkan kedua belah pahaku lebar-lebar dan memasrahkan tubuhku untuk digauli sebagaimana lazimnya.

Saat kami mulai melakukan hubungan badan, kurasakan alat kejantanan suamiku agak lain dari biasanya. Aku merasa alat kejantanan suamiku agak besar dan keras sekali dari biasanya. Sehingga aku benar-benar terhanyut dalam kenikmatan birahi yang amat hebat malam itu. Selain itu selama kami melakukan hubungan badan, kudapati suamiku juga agak istimewa. Suamiku malam itu sangat perkasa dan hebat sekali sampai aku terpaksa mengalami orgasme berkali-kali. Dan yang terlebih hebat lagi sampai akhir hubungan itu suamiku tidak mengalami orgasme sama sekali. Akibat aku mengalami orgasme berkali-kali membuat tubuhku akhirnya kehilangan tenaga dan langsung tertidur dengan nyenyak dalam suatu kepuasan yang belum pernah kualami.

Aku terbangun keesokan harinya ketika matahari sudah mulai terang. Kudapati suamiku sudah bangun terlebih dahulu dan telah berada di kamar makan. Buru-buru aku keluar kamar untuk menemaninya makan pagi sebelum dia berangkat ke kantor.

"Wah Papah hebat benar semalam... pakai obat ya?" kataku berbisik kepadanya sambil tersipu-sipu.

Mendengar bisikanku itu suamiku agak tersentak. Kemudian dia berbalik bertanya, "Hebat apa maksud Mamah!?"

"Itu... tu.. semalam Papah benar-benar hebat sekali deh, sampai Mamah kewalahan dan tidak tahan lagi rasanya... jadi pakai obat apa sih Pah? Karena selama ini belum pernah Mamah merasakan "itu" Papah sedemikian keras dan besar sekali, lagi pula... tahan lama, Mamah sampai kewalahan semalam... tapi jadi benar-benar puas!" kataku dengan tetap tersipu-sipu.

Mendengar ucapanku itu suamiku menjadi lebih terbengong dengan mulut yang agak ternganga dan alisnya pun berkerenyit.
"Ah, Mamah mimpi barangkali... aku semalam ketiduran di kamar sebelah dan baru terbangun pagi subuh tadi. Memang mulanya aku bermaksud pindah lagi ke kamar kita, tapi entah mengapa tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk sekali, mataku berat sehingga aku jadi ketiduran tanpa ampun", jawab suamiku.
Mendengar jawaban suamiku itu kini aku yang berbalik menjadi terbengong. Aku berpikir apakah aku telah bermimpi? Tetapi mengapa mimpiku itu begitu sangat terasa seperti nyata? Mengapa aku merasakan kepuasan seksual yang begitu hebat apabila semua itu hanya mimpi? Kalau aku tidak bermimpi jadi siapakah yang telah menyetubuhi diriku semalam? Mudah-mudahan saja benar ucapan suamiku tadi, bahwa aku semalam memang bermimpi. Hal itu memang sangat boleh jadi, karena dalam mimpiku itu aku tidak merasakan suamiku mengalami orgasme dan pada alat kewanitaanku juga tidak terdapat bekas-bekas sperma laki-laki.

Pada mula aku tidak begitu peduli akan kejadian itu dan telah melupakan mimpiku itu. Akan tetapi setelah beberapa minggu kemudian dan kebetulan pula harinya bertepatan dengan hari dimana aku bermimpi untuk pertama kalinya, yaitu pada hari Rabu, malam Kamis, aku kembali bermimpi melakukan hubungan persetubuhan dengan seseorang. Pada saat itu kebetulan suamiku tidak ada di rumah karena sedang berpergian ke luar daerah. Oleh karena itu aku tidur sendirian saja di kamarku. Setelah beberapa saat aku tertidur, tiba-tiba aku kembali merasa ada sesosok tubuh berada di dekatku. Ketika aku akan bangun tiba-tiba aku seperti mendapat semacam bisikan bahwa sosok tubuh itu tidak lain adalah suamiku yang sekarang yang ingin melepaskan hasratnya kepadaku sebagai istrinya. Bagaikan terkena oleh suatu kekuatan hipnotis yang besar aku tidak jadi terbangun dan menuruti bisikan untuk melayaninya dalam suatu hubungan suami-istri yang sempurna. Aku merasakan kembali suamiku begitu hebat. Terutama alat kejantanannya terasa begitu nikmat dan menggairahkan sekali ketika berada dalam liang senggamaku. Aku merasakan alat kejantanan suamiku itu begitu besar dan keras sekali.

Dalam hubungan tersebut aku benar-benar merasakan suatu kenikmatan seksual yang sangat besar sebagaimana yang pernah kualami dalam mimpiku yang pertama beberapa waktu yang lalu, sehingga aku rasanya seperti kuda binal meronta-ronta ke sana ke mari dan berteriak-teriak kecil merasakan kenikmatan birahi yang sangat hebat. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba sekilas terlintas kesadaranku dalam diriku.

Tiba-tiba aku teringat bahwa suamiku sedang tidak berada di tempat, sehingga siapakah yang sedang menyetubuhi diriku ini. Dengan suatu kekuatan dalam diriku, kupaksakan mataku membuka untuk meyakinkan apakah aku bermimpi atau bukan. Kali ini lampu tidurku kebetulan tidak dipadamkan sehingga ketika aku membuka mata aku dapat melihat secara samar-samar dalam cahaya lampu tidur yang temaram sesosok tubuh seperti bayang-bayang berada di atas perutku dalam posisi duduk sedang asyik menyetubuhi diriku. Mulanya memang aku merasa terkejut dan agak heran sekali. Aku berpikir apakah semua ini juga merupakan bagian dari mimpi lainnya. Akan tetapi anehnya kesadaranku tiba-tiba hilang begitu saja, kemudian aku kembali terhanyut oleh perasaan birahi yang meluap-luap sehingga aku pun dengan sangat bernafsu sekali terus melayani sosok bayangan tersebut dalam suatu hubungan suami-istri yang sangat hebat. Malam itu kembali aku merasakan suatu kepuasan yang sangat luar biasa pada akhir hubungan suami-istri tersebut. Aku kembali mengalami orgasme berkali-kali yang membuat diriku menjadi lelah sekali dan akhirnya aku terlelap tidur dengan sangat nyenyak sekali.

Keesokan harinya ketika aku terbangun aku jadi kembali berpikir-pikir, mengapa aku mengalami mimpi seperti itu lagi? Apakah hal itu merupakan bayang-bayang imajinasiku karena pada saat itu kebetulan aku baru saja beberapa hari selesai haid dimana dalam periode tersebut biasanya aku mengalami masa birahi yang memuncak? Akan tetapi mengapa aku mempunyai bayangan imajinasi semacam itu? Atau apakah karena aku selama ini aku kurang mendapat kepuasan dari suamiku sehingga hal itu merupakan refleksi dari alam bawah sadarku terhadap ketidakpuasan seksualku terhadap suamiku itu sehingga muncul sebagai suatu mimpi? Atau pula mungkin disebabkan oleh faktor lain.

Untuk alasan yang pertama aku kurang yakin karena periode haidku secara rutin datang setiap bulan, jadi mengapa baru sekarang tercipta dalam mimpi. Untuk alasan yang kedua kemungkinannya bisa saja terjadi, karena terus terang aku pernah menyeleweng sekali bersama temanku yang sebenarnya juga adalah teman suamiku. Peristiwa itu terjadi sudah agak lama sekali dan aku juga telah melupakannya. Penyelewenganku itu terjadi ketika aku sedang berada di Jakarta sendirian menengok anak-anakku. Pada saat itu memang hatiku sedang kacau dan perasaanku tidak menentu. Keberangkatanku ke Jakarta sebenarnya juga atas saran suamiku karena beberapa waktu sebelumnya kami sering bertengkar yang disebabkan hanya karena persoalan kecil saja. Suamiku rupanya menyadari bahwa perilakuku yang kadang-kadang suka keras kepala dan marah-marah kepadanya sebagai suatu akibat dari kehidupan di lingkungan kami yang sangat datar dan jauh dari keramaian. Oleh karena itulah suamiku menyarankan kepadaku agar menukar suasana sebentar dan pergi ke Jakarta sambil menengok anak-anak.

Di Jakarta aku bertemu dengan temanku. Dia memang sering datang ke rumah menemui suamiku pada saat aku masih tinggal di Jakarta. Kebetulan istrinya juga adalah teman kuliah suamiku dan dia sendiri memang teman baik suamiku. Sehingga kami mengenal dengan baik seluruh keluarganya.

Pada saat itu dia mengantarkan aku belanja ke sebuah Toserba. Selesai kami berbelanja, dia mengajakku makan malam di kawasan pantai Ancol. Karena memang kami sudah berkenalan lama dan suamiku juga mengizinkan bila aku pergi bersamanya, maka kupenuhi ajakan temanku itu. Ketika kami makan, temanku banyak bercerita tentang dirinya. Dia bercerita bahwa dia seorang yang perkasa dan menyukai serta disukai banyak wanita. Akan tetapi wanitanya itu katanya bukan sembarang wanita. Dia tertarik kalau wanita itu benar-benar istimewa, baik dalam penampilan maupun bentuk tubuhnya. Dia mengatakan bahwa aku juga merupakan salah satu wanita yang dianggap sangat istimewa olehnya. Aku jadi terlambung dan terkesan sekali akan ceritanya. Malahan aku sempat bertanya bagaimana caranya agar seorang laki-laki itu menjadi seorang yang perkasa. Akan tetapi masalahnya rupanya tidak sampai disitu saja. Ketika kami selesai makan malam dalam perjalanan pulang, entah bagaimana mulainya, dia tiba-tiba membelokkan mobilnya masuk ke dalam sebuah motel yang ada di sekitar situ dan membisikkan kepadaku bahwa sebentar lagi aku akan mengetahui jawaban akan keperkasaan seorang laki-laki.

Selanjutnya aku juga tidak tahu mengapa aku tidak menolak diajak ke situ. Kupikir hal itu mungkin disebabkan pikiranku sedang kacau dan aku tergoda untuk mendapatkan kenikmatan badani bersamanya yang mana jarang kuperoleh dari suamiku. Sehingga ketika kami sudah dalam kamar kubiarkan saja tubuhku ditelanjangi habis-habisan dan kami pun bersama-sama berpolos bugil menikmati keindahan tubuh masing-masing. Kelanjutan dari adegan itu sudah dapat dimaklumi kiranya, akhirnya aku dan dia bercumbu habis-habisan di tempat tidur bagaikan sepasang suami istri yang sedang berbulan madu. Semua tehnik dan gaya permainan persetubuhan di tempat tidur kami lakukan bagaikan dalam adegan sebuah film biru. Bahkan dengan tidak segan-segannya kami juga melakukan oral seks dalam menggali kenikmatan tubuh masing-masing. Sehingga seluruh tubuhku sudah tidak ada lagi yang tersisa yang tidak pernah dinikmatinya.

Namun hubungan kami hanya untuk sekali itu saja karena setelah itu aku merasa sangat malu sekali apabila bertemu dengannya. Di samping itu memang kesempatan aku bertemu berduaan seperti itu tidak pernah ada lagi. Selain itu aku juga berpikir kenikmatan yang kuperoleh dengannya sebenarnya biasa-biasa saja. Dia juga tidak lebih hebat dari suamiku. Dia juga tidak dapat tahan terlalu lama ketika tubuh kami bersatu dan telah menumpahkan spermanya dalam rahimku secara bertubi-tubi ketika aku masih dalam birahi. Demikian pula ukuran dan bentuk alat kejantanannya, kurasakan juga tidak lebih istimewa bahkan tidak jauh berbeda dengan alat kejantanan suamiku, yang membedakannya hanyalah alat kejantanannya itu merupakan alat kejantanan kepunyaan laki-laki lain dan suami wanita lain. Semenjak hubungan itu aku menghindarkan diri darinya dan aku merasa kapok berzina dengan dia, akan tetapi yang paling utama sebenarnya adalah aku takut berdosa

Rere Gadis SMU Yang Malang

Rere masih duduk termenung di bangku sekolahnya. Rok abu-abunya terangkat 5 centimeter ketika dia menyilangkan kakinya yang panjang semampai membentuk betis yang indah, walaupun terbalut kaus kaki putih setinggi lutut. Bu Santi guru biologinya menerangkan betapa pentingnya sistem metabolisme tubuh dan memerlukan omega 3 lebih banyak dari omega 6 untuk mendapatkan kesehatan tubuh yang positif. Tetapi pikiran Rere melayang entah kemana, tangannya menyangga dagunya yang malas untuk menengadah tegak, semua energinya hilang.

Memang minggu ini adalah minggu yang berat untuk Rere. Dia baru saja bertengkar hebat dengan Lola sahabatnya sendiri yang juga satu sekolah. Pertengkaran mereka dIka renakan laki-laki yang disukai Lola ternyata menyukai Rere juga, sedangkan Rere sejak dulu juga memendam perasaannya untuk laki-laki yang sama, Albie.


Rere bersumpah untuk mempertahankan persahabatannya dengan Lola dan mengesampingkan perasaannya demi sahabatnya itu. Baginya persahabatan lebih penting daripada pacar. Tetapi berbeda dengan Albie. Dengan tanpa menyerah dia terus mendekati Rere di sekolah untuk mendapatkan cinta teman sekolahnya. Hal itu membuat Lola semakin marah dan kecewa kepada Albie dan Rere. Rere berusaha mati-matian untuk menghindari Albie walaupun sebenarnya dia menyesal kenapa sahabatnya bisa suka pada pria yang sama.

"Re, lo kenapa?" Ika teman satu kelasnya menghentIka n lamunannya. Memang selain Lola, Rere juga berteman dengan Ika. Karena Lola beda kelas, jadi dia menjadIka n Ika sebagai temannya juga walaupun tidak sedekat dia dengan Lola.

"Gak apa-apa ka, gue cuma lagi gak konsen aja"

"Kok lo pucet sih" Lo sakit ya" Mau gue anter ke ruang BP"

"Gak ka, g cuma gak konsen aja kok. Tau nih pelajaran ngeBTin banget! Gara-gara omega 3 gue harus banyak makan Ika n deh..." celetuk Rere berusaha ceria. Dia tidak mau masalahnya sampai tersebar dan diketahui Ika dan yang lainnya.

"Serius lo gak apa-apa" Gue punya air mineral nih, kalo lo mau... Lumayan buat melekkin mata, bentar lagi dah mau pulang biar lo segeran dikit" Ika menawarkan dengan tulus kepada teman sekelasnya itu. Rere pun langsung mengambil sebotol air mineral yang ditawarkan Ika, memang dia haus dan jenuh dengan keadaannya sekarang. Langsung Rere menyeruput botol mineral Ika dan mengosongkan seperempat dari setengah isi botol itu yang langsung menyegarkan kerongkongannya.

"Thanks ya Ka... sumpah, jadi seger lagi gue.."

"No problemo" kata Ika tersenyum dan mengambil botol yang ada dari tangan Rere. Rere pun kembali menatap Bu Siska dan mencoba keras memperhatikan ke papan tulis yang isinya menjelaskan klasifikasi omega 6 dan makanan apa yang harus dihindari dan tidak perlu banyak dikonsumsi.

Lima menit kemudian bel sekolahpun berteriak memerintahkan bahwa pelajaran hari ini selesai, serentak seluruh murid di kelas 3 IPA 4 membereskan buku-buku mereka dan buru-buru menjejalkan kedalam tas sekolah mereka masing-masing.
"Ayo Re kita ke parkiran bareng..." ajak Ika. Memang sesudah seminggu bermusuhan dengan Lola, Rere selalu pulang bareng Ika. Walaupun tidak betul-betul pulang bareng, paling tidak Rere punya teman untuk jalan ke parkiran sekolah. Semenjak ulang tahunnya yang ke 17 dua bulan yang lalu, papanya menghadiahkan mobil Honda Jazz untuknya. Dan selama 2 bulan terakhir dia selalu menyetir sendiri setiap sekolah dan dengan senang hati menawarkan untuk mengajak dan mengantar Lola walaupun hanya untuk hang out atau sekedar pulang. Hampir setiap hari mereka pulang bareng, Lola pun sengaja menyuruh supirnya untuk tidak menjemputnya. Tetapi seminggu terakhir ini, Rere selalu pulang sendiri. Buat orang seceria Rere, akan sangat menyedihkan untuknya kalau pulang sendiri.

"Lo duluan deh Ka, gue mau toilet, cuci muka dulu... Suntuk banget nih, entar gak konsen lagi nyetirnya..." Tolak Rere halus. Dia memang berniat untuk ke toilet sebelum pulang. Mungkin sepercik air bersih bisa menyegarkan pandangannya yang semenjak seminggu ini selalu layu.
"OK deh... see ya..." sahut Ika sambil berlalu.

Sepeninggal Ika, Rere berjalan menuju toilet yang berada di sudut sekolah di lantai 2. dia berusaha bersemangat agar bisa segar cepat langsung meluncur ke rumahnya dan istirahat untuk menjalani hari esok yang akan sama menjenuhkannya tanpa Lola ada disampingnya. Rere menuju ke toilet booth paling ujung karena tampaknya seluruh booth penuh terisi oleh murid-murid yang lain. Entah kenapa hatinya sangat hampa dan seluruh perasaannya kosong tak bergairah hari ini. Dengan lunglai ia mengunci pintu toilet dan menuju wastafel untuk mengguyur mukanya dengan sedikit air. Air segar langsung menyiram wajahnya. Rere berusaha untuk tetap terjaga dan melebarkan matanya agar tidak sayu. Tetapi kedua matanya seolah tidak berkompromi. Rere merasa badannya lemas luar biasa dan kepalanya pusing tidak tertahankan. Sambil terhuyung dan berusaha keras dia memegang kedua sisi wastafel menahan berat badannya sendiri. Tetapi perasaan aneh membuat lututnya lemas dan seolah-olah berat badannya bertambah 10 kali lipat, Rere pun jatuh tak sadarkan diri di lantai wastafel.

Entah berapa lama Rere pingsan di toilet perempuan itu. Tetapi begitu sadarkan diri, dia masih tetap di toilet tak berpindah sedikitpun. Rupanya tidak ada satu muridpun yang menyadari bahwa Rere pingsan di toilet. Dengan kepala berat Rere melirik jamnya yang melingkar diam di tangan kirinya. Sudah jam 3 sore. Memang sekolah swasta tempat Rere belajar, kegiatan operasional dimulai dari jam 7 pagi sampai jam 12.30 siang. Dan gerbang akan ditutup pada jam 2 siang. Tidak ada kelas siang di sekolah tersebut. Otomatis hal ini menyadarkan Lola bahwa dia sendirian di gedung sekolah ini. Tidak betul-betul sendirian sebenarnya. Ada pak Somad penjaga sekolah yang memang tinggal di dalam gedung sekolah khusus untuk menjaga dan membersihkan sekolah. Rere pun menjumput tas sekolahnya dan berjalan menelusuri koridor toilet untuk menemui pak Somad. Barangkali dia bisa membukakan gerbang sekolah untuknya. Sambil merogoh tas mencari kunci mobilnya, sebelum mencapai pintu toilet, tiba-tiba daun pintu ditarik terbuka dari luar dan muncullah 4 orang pemuda yang juga masih berseragam sekolah. Rere berusaha mengenali mereka, tetapi dia sama sekali tidak punya petunjuk siapa mereka.

"Akhirnya ketemu juga... dicari-cari dari tadi. Gue bilang juga apa kan Ben, dia pasti masih di dalam. Mobilnya aja masih ada di parkiran" kata salah satu dari mereka yang badannya tinggi jangkung yang berwajah Indo-Pakis. Rere bisa mengenali karena untuk anak laki seumuran dia bulu-bulu halus sudah tumbuh di bawah hidungnya yang mancung di atas rata-rata orang pribumi.

"Iya... Gue pikir dia mungkin nebeng temennya" jawab Ben yang ternyata ada paling depan di antara mereka berempat. Ben juga tinggi dan wajahnya tak kalah tampannya dengan yang pertama bicara. Alis mata Ben sungguh tebal, hidung mancung dengan kulit yang lumayan putih untuk ukuran laki-laki.

"Eh, sorry... tapi toilet anak laki ada di bawah. Ini toilet anak perempuan" Jawab Rere polos. Dia berusah ramah terhadap sekelompok pemuda itu.

"Halo Rere... pa kabar?" sahut salah satu mereka. Rere tampak terperanjat, kenapa mereka tahu namanya.

"Siapa ya" Kok gue gak kenal sama kalian semua" Bukan anak sekolah sini kan?" Rere masih berusaha ramah seolah ini adalah percakapan biasa yang pantas antara seorang gadis dengan sekelompok anak laki-laki di koridor toilet perempuan.

"Lo emang cantik banget... ramah lagi. Pantesan Albie naksir banget sama lo. Ya nggak Dave?" timpal si Indo-Pakis sedikit menyeringai. Rere mulai tidak suka dengan perlakuan mereka. Dan kenapa ada Albie yang terlibat dalam percakapan ini.

"Emang Albie gak salah pilih! Renata aja kalah sama lo Re" jawab Dave yang Rere nilai tidak kalah gantengnya dengan yang lain. Dave berperawakan tinggi dan lumayan atletis. Wajah oriental Indo juga menghiasi mukanya. Indo mana" Rere tidak bisa memprediksi.

"Eh, siapa sih kalian" Kok kenal gue sama Albie..." Nada suara Rere sedikit panik karena dia sekarang merasa terpojok.

"Kita-kita dateng kesini cuma mau nyulik elo... Jangan tersinggung ya... tapi kayanya gue mau lebih dari nyulik... tul gak guys?" Jawab Ben santai seolah ini adalah pernyataan yang normal. Dan teman-temannya di belakangpun mengiyakan dengan kompak sambil menunjukkan mimik seperti orang haus dan berseringai.

"Eh jangan becanda dong... jangan sampe gue teriak" ada nada panik disuara Rere. Dengan reflek Rere merogoh tasnya. Tangannya yang tadi di dalam tas untuk mencari kunci mobil sekarang berubah untuk mencari handphonenya dengan gugup. Mungkin dia bisa menekan speed dial untuk menelepon siapa saja agar bisa mendengarnya walau dari dalam tas.

Tetapi terlambat. Ben mengetahui gelagatnya dan segera merampas tas Rere dan melemparnya jauh-jauh ke dalam toilet. Sedetik kemudian semua buku-buku, kunci mobil, handphone dan make up Rere berhambur keluar. Ada sesuatu yang terdengar pecah disana. Rere melengos. Apa itu Hpnya. Atau mungkin salah satu alat kosmetiknya.

"Mau telpon siapa say..." kata Ben sambil memegang tangan Rere dengan mendekatkan seringai dan mukanya tidak lebih dari 2 centimeter dari muka Rere.

Rere tahu, ini saatnya dia lari atau kabur. Cari pertolongan, teriak atau menangis minta belas kasihan. Tetapi hatinya merasa ini bukan saatnya untuk berkompromi lagi. Dengan sekuat tenaga dia menghentakan kakinya menginjak kaki Ben yang sangat dekat dengan kakinya. Ben pun melepas pengangan tangannya dan megaduh memegang kakinya sendiri. Tidak menyia-nyiakan kesempatan. Rerepun langsung berlari menuju pintu toilet menerobos sekelompok pemuda itu. Merekapun berusaha menahan Rere, tetapi entah kenapa Rere bisa mencapai pintu dan menarik daunnya, membuat pintu terbuka dan berlari keluar sekencang mungkin. Rere berbelok menuju ke tangga untuk turun ke bawah. Dia tidak punya kunci, dia juga tidak punya HP untuk menelepon siapa saja minta tolong. Rere berlari sekencang mungkin, dia tidak berani menengok ke belakang. Dia Cuma berharap ini adalah mimpi buruk. "Bangun Re!" teriaknya dalam hati berharap sesuatu akan terjadi. Tetapi dia tetap menemukan dirinya masih berlari dan terus berlari.

Tiba di gerbang dia mendapati gerbang itu sudah terkunci dari dalam. "Oh tidak!" seru Rere dalam hati. Rere memutar otak. Pak somad! katanya lagi. Mungkin dia bisa ke tempat Pak Somad untuk minta tolong. Rere pun membalikkan badannya. Dia lihat tak jauh dari tempatnya 4 orang pemuda berseragam putih abu-abu sedang berlari kencang ke arahnya. Sejurus kemudian Rere berlari membelokkan badan menuju ke tempat pak Somad. Pak Somad tinggal di belakang sekolah dan Rere pun tahu jalan memutar menuju ke tempat pak Somad. Dia memberanikan diri menoleh ke belakang. Keempat pemuda itupun masih mengikutinya. Jantung Rere berdegup kencang. Dia tidak boleh lemah. Dia bisa berlari kencang.

Setiba di tempat pak Somad. Rere mendapati pintu rumah sudah terbuka. Dilihatnya ke dalam. Terlihat pak Somad sedang tertidur di tempat duduknya. Secangkir kopi, sebungkus rokok dan sepiring roti donat ada di meja di depat pak Somad terlelap. "Thanks God" seru Rere dalam hati. Dengan keras dia mengetuk pintu membangunkan pak Somad.

"Pak Somad... pak..., bangun pak tolong saya!!" tanpa permisi Rere masuk ke dalam rumah dan mengguncang tubuh pak somad, berharap dia akan bangun dari tidurnya. Tetapi pak Somad tak bergeming sedikitpun. "Pak... pak Somad! Bangun pak!! Tolong saya pak... ada orang yang mau mencu..." sambil mengguncangkan dan membangunkan pak Somad, Rere menunjuk dan menoleh ke luar seolah-olah ingin menunjukkan ada orang jahat yang mau menculikntya. Tetapi di arah Rere menunjukkan jari telunjuknya, keempat pemuda tersebut sudah berdiri berjajar dengan tenangnya sambil melipat tangan seolah-olah mereka berpose untuk suatu pemotretan. Rere merasa keadaan sudah sangat buruk.

"Ngapain say... pak somadnya lagi tidur... jangan dibangunin... kasihan dong... kan udah capek kerja seharian.." lagi-lagi Ben yang berkata. Dengan santai dia masuk ke dalam dan mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya. Seperti obat kapsul berwarna biru muda. Ben membuka kapsul itu dan menuangkan isinya ke dalam cangkir kopi pak Somad. Rerepun mengerti. Pak Somad sedang tak sadarkan diri.
"Kok gak ngenalin sih say... kamu kan tadi minum ini juga... lupa ya?" masih sambung Ben. Rere ingat, tadi dia sempat tak sadarkan diri.

"Tapi... gimana caranya?"" jawab Rere pelan tak bernada. Dia bingung kapan dia meminum obat tersebut.

"Duh, kaya investigator aja deh kamu... kasih tau deh Zack..." sahut Ben dengan malas dan orang yang bernama Zack itu pun menyahut. Ternyata orang keempat yang dari tadi Rere tidak mengetahui itu namanya Zack. Rere pun mulai memperhatikan keempat orang tersebut. Mereka sungguh laki-laki yang wajahnya di atas rata-rata. Semuanya berpenampilan ok dan tampan.

"Tadi kita titipin ke Ika..." sahut Zack sedikit santai. Rere pun seperti tersambar petir, dia kaget luar biasa. Tidak di sangka temannya sendiri menjebaknya.

"Kenapa..." seru Rere tanpa sadar. Dia terbengong. Di kepalanya sekarang menari-nari wajah Ika sambil tersenyum licik kepadanya.

"Gimana say... mau ikut kita. Kalo kamu nurut, semuanya akan baik-baik saja.." Ben dengan santai meraih tangan Rere menggandeng gadis itu. Rere tersadar, tanpa berlama-lama dia menepis tangan Ben dan mendorong Ben berharap dia akan pergi jauh-jauh meninggalkannya. Ben terdorong mundur 3 langkah. Wajahnya menunjukkan perasaan marah. Sedetik kemudian Ben melangkah maju kedepan dan PLAK!

Rere tersungkur jatuh menerima tamparan keras di pipi kirinya, terjerembab menabrak meja pak somad. cangkir kopi pak Somad jatuh dan pecah sesudah mengguyur badan Rere menumpahkan isinya ke seragam putih Rere dan menembus kedalam kulitnya menunjukkan gundukan kembar Rere yang tersiram, memetakan garis bra Rere yang berwarna hitam sehitam air kopi yang mengguyurnya. Pipi kirinya terasa panas dan perih. Perutnya sakit sehabis menghantam tepi meja pak Somad. sekarang, perasaan kalut menguasai hatinya. "Bagaimana ini..." dalam hati Rere. Kemudian Rere merasa badannya diangkat ke atas dipaksa berdiri oleh tangan Ben. Rere pun berdiri. Tangannya tak sengaja mengelus pipi kirinya yang perih. Ben melihat setitik darah mengalir dari pinggir bibir Rere. Lalu Ben menghapus darah itu dengan punggung tangannya. Rere berusaha mengelak, sehingga darah itu masih meninggalkan bekas di sisi bibir Rere.

Rere tidak menangis walau rasanya perut, pipi dan hatinya sakit dikhianati. Dia tidak mau terlihat lemah di depan keempat pemuda tersebut.
"Sorry ya say... abis kamunya gitu sih... Kita cuma mau bawa kamu doang kok..." Sahut Ben sambil membelai rambut Rere mesra seolah-olah seorang kekasih bicara kepada gadisnya. Rere benci nada suara itu. Dia memutar otaknya. Bagaimana dia bisa keluar dari masalah ini.

"Tolong... jangan ganggu gue...Gue.. gue bakal bayar...bayar tiga kali lipat dari orang yang bayar lo.." dengan terbata-bata Rere mencoba untuk bernegosiasi kepada Ben.

"Engga bisa gitu dong say... emang kamu pikir kita-kita ini orang yang butuh uang. Enggak sayang...lagian ini udah termasuk urusan perasaan... right guys?" Ben bertanya ke teman-temannya dan sekali lagi mereka mengiyakan dengan kompak.

Rere pun merasa sudah tidak ada harapan lagi untuk dirinya. Dia juga mendiamkan Ben yang meraih tangannya dan menggandengnya keluar. Dengan menurut Rere berjalan keluar. Sesampai di luar tak jauh dari pintu rumah pak Somad. Rere kembali menghempaskan tangannya dan berusaha melepaskan diri berlari. Kaget dengan pegangannya, tanpa sadar tangan Rere sudah terlepas dari Ben. Rere pun kembali berusaha berlari. Namun Dave, Zack dan si Indo-Paskin dengan cekatan mengejar Rere. Dengan perut yang masih sakit, Rere tidak bisa berlari sekencang tadi. Tapi dia terus berlari. Dia tidak berani melihat ke belakang. Dan tidak lama kemudian dia merasa bajunya dipegang dan ditarik dari belakang. Tetapi Rere tetap berlari berharap tarikan baju itu akan terlepas. Tetapi pegangan itu begitu kuat dan kencang sehingga merobek baju belakang seragam Rere. Rere pun kembali jatuh terjerembab di rumput belakang sekolahnya. Terjatuh tertelungkup. Dia coba untuk bangun tanpa menghiraukan bajunya. Tetapi tiba-tiba dibelakang tubuhnya ada yang menindih dan menahannya untuk tetap berada terlungkup di rumput.

"Lepasin gue!.. Lepasin!!! TOLONG!! TOLONG!!!" teriak Rere berusaha berontak. Sedetik kemudian tangan kasar membalikan badannya dengan kuat. Di lihat Ben berada di atasnya. Dan PLAK!! PLAK!!

Dua tamparan kembali dihadiahkan di pipi kanan dan kiri Rere. Kembali Rere merasa seperti di hantam dengan benda yang sangat keras di kedua pipinya. Rere merasa seakan rahangnya ikut terlepas setelah tamparan kedua itu mendarat di pipinya. Ben masih menindih Rere yang sudah terlentang. Dengan geram dia mencekik leher Rere. Rere tidak bisa mengelak lagi. Dia merasa akan mati. Dia tidak bisa bernafas. Dia juga tak bisa bicara. Tangan Rere dengan segera memegang tangan Ben mencoba melepaskan cekikannya. Kakinya menendang-nendang rumput di bawahnya. Muka Rere sudah memerah. Sungguh satu menit yang menyiksakan setelah dengan tiba-tiba Dave mengingatkan Ben untuk melepaskan cekikannya.

"Ben, Gila lo... bisa mati dia!! Lepasin!" Lalu Ben tersadar dan melepaskan cekikannya. Rere pun terbatuk-batuk. Lega dia bisa bernapas lagi, meskipun kalau boleh memilih dia mau langsung tertidur, mati... atau pingsan dan bangun di tempat yang jauh dari sini. Selamat dan hidup normal lagi.

Tiba-tiba Ben bangun dari tubuh Rere dan menarik Rere untuk berdiri. Rere pun terbangun.

"Sam, pegangin dia! Biar enggak kabur lagi!" si Indo-pakis langsung bergerak memegang Rere, rupanya dia bernama Sam. Ben kembali melihat ada sebersit goresan yang mengeluarkan darah di pelipis kanan Rere. Rupanya Rere tergores ketika jatuh tadi. Dan sedetik kemudian Ben menarik seragam putih Rere dan langsung merobeknya terbuka tepat di dadanya. Kancing seragam Rere pun terlepas semua saking kencangnya robekan tangan Ben. Spontan buah dada Rere yang masih terpampang memperlihatkan isinya kepada keempat pemuda tersebut. Rere segera berusaha menutup dadanya dengan menyatukan robekan seragamnya. Tetapi Sam dengan cepat meraih tangannya menekuknya ke belakang sehingga Rere tidak bisa berkutik lagi. "PLAK!"

Tamparan sekali lagi mendarat di pipi kiri Rere, darah segar kembali mengalir dari tepi bibir Rere.

"Jangan ngelawan lagi dong sayang...aku udah capek nih main lari-larian...!" Kata Ben. Ada nada mengancam di sana. Ben memandang buah dada Rere. Lalu dia meraih rok abu-abu Rere. Rere pun berusaha menghindar, tetapi pegangan Sam sungguh kuat sehingga dia tidak bisa mengelak lagi. Dengan kasar Ben merobek rok Rere dari bawah ke atas. Belahan panjang terobek tepat di tengah-tengahnya sehingga memperlihatkan celana dalam hitam Rere. Kaki Rere yang jenjang pun ikut terpamerkan seperti dada dan perutnya. Kembali Ben mengoyak rok abu-abu Rere, kali ini tempatnya di sisi kiri yang dapat memperlihatkan paha Rere yang putih mulus. Rere sekarang merasa bahwa sekarang seragamnya tidak bisa melindunginya dari keterlanjangan. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Say bagus banget sih bodynya..." Seru Dave tiba-tiba mendekat dan memegang buah dada kiri Rere yang menggantung indah meskipun masih tertutup pembungkusnya.

"Iya ya... si Albie bener-bener pinter pilih cewek" Sam ternyata mengambil kesempatan memegang buah dada Rere yang sebelah kanannya. Tetap Rere tidak menangis dalam keadaan seperti ini. Dirinya sudah hampir telanjang. Pipinya panas, pelipisnya perih, perut dan hatinya sakit memikirkan kenapa Albie dan Ika bisa sejahat itu padanya.

Lalu Ben mendekat. Dia mendekatkan tangan kanannya ke tubuh Rere. Rere langsung memejamkan mata, mengira Ben akan menamparnya lagi. Dia sudah tidak tahan lagi dengan tamparan Ben. Tetapi ternyata Rere salah terka. Ben meletakan tangannya di kemaluan Rere yang masih terbungkus celana berbahan silk tipis yang mempesona.

"Re... masih perawan ga?"" tanya Ben sambil mengelus kemaluan Rere. Rere terdiam. Dia merasa pertanyaan itu tidak untuk di jawab. Lalu Ben menampar Rere lagi. Lalu menjambak rambutnya dengan tangan kirinya membuat kepala Rere menengadah sementara tangan kanan Ben masih meraba benda kehormatan Rere.

"Jawab say!" kata Ben dengan nada tetap halus. Rere bingung kenapa orang seperti Ben bisa berbuat kasar tetapi berkata halus. Hal itu membuat Rere semakin panik.
"I iii iiya...!" jawab Rere gemetar.
"SHIT!!" serapah Ben sambil melepas pegangannya menjauh dari Rere.

"Kenapa bro" bukannya harusnya kita seneng?" timpal Zack bingung.
"Bukan gitu Zack!!! Perjanjiannya, kalau dia udah engga perawan lagi kita boleh make. Tapi kalo masih, kita gak boleh make dia"
"Kenapa gitu"! Kok perjanjiannya tolol banget!" timpal Dave yang juga kecewa dengan keputusan Ben.
"Itu udah kontraknya sama dia!! Orang yang nyuruh kita itu gak mau ngambil keperawanan Rere. Tapi kalo emang udah enggak baru kita bisa make dia!"
"What the hell... I"ll fuck her! We"ve been this far!!" seru Dave kembali.
"No way bro... that"s the deal!!" Ben berseru.
"Fuck the dea!!. I"m still gonna fuck this girl..!!" Sam nampaknya tak mau ketinggalan argumentasi.

Hal ini memberikan kesempatan pada Rere untuk mencari celah melarikan diri. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya Rere menhentakkan kakinya lagi menginjak kaki Sam yang menguncinya. Sam pun terkejut kesakitan pada telapak kaki kanannya yang di injak Rere. Sam melepaskan pegangannya, sejurus kemudian Rere kembali berlari. Dia terus berlari menuju gerbang depan. Atau mungkin dia akan bersembunyi ke dalam salah satu kelas. Terus sembunyi sampai ada kesempatan untuk menuju gerbang depan walaupun sampai malam. Seragam Rere yang sudah robek parah berkibar di belakang mengiringi pelariannya. Rere masih tidak berani menengok ke belakang. Lalu dia melihat satu kelas yang pintunya terbuka. Rere masuk ke kelas itu dan langsung menutup pintunya.

Tetapi sebelum pintu tertutup, seseorang mendorong keras dari luar membuka pintu dan pintu itu terjeblak keras terbuka menghantam wajah Rere. Rere kembali terjatuh. Lalu dia melihat Ben berada di bingkai pintu. Rupanya dia berhasil mengejar Rere, dan ketika Rere menutup pintu, dengan kasar Ben mendorong pintu itu sehingga Rere yang berada di baliknya terhantam keras tepat mengenai hidungnya. Dengan sadar dia meraba hidungnya. "Sakit..." Katanya dalam hati. Setetes darah berhasil menempel di buku jari telunjuk Rere. Hidungnya sepertinya patah. Rere merasa panas dan sakit yang teramat dalam di hidungnya. Masih dalam posisi terduduk jatuh. Dengan murka Ben menarik Rere bangkit dari lantai keras dan menhempaskan tubuh Rere ke meja terdekat. Kembali perut Rere menghantam tepi meja. Ini lebih sakit dari tamparan-tamparan di pipi yang diberikan Ben tadi. Rere terhuyung jatuh ke bawah. Perutnya terasa berat dan mual. Rere melingkar tersimpuh menekan perutnya, berusaha menahan rasa sakit yang teramat sangat. Sedetik kemudian dia memuntahkan sesuatu. Tepat didepan matanya, darah segar keluar dari mulutnya yang mungil itu. Rere pun tetap bersimpuh di lantai kelas. Dia tidak sanggup untuk berdiri.

Kemudian, Ben menarik dagu Rere yang tertunduk membuat dia menengadah menatap Ben. Dia melihat keempat pemuda itu sudah ada di hadapannya lagi. Ben melihat setitik air mata tercetak di mata Rere. Bukan air mata sedih dan takut yang dikeluarkan Rere. Tetapi air mata menahan sakit di perutnya.

"Cantik juga ya kamu... kalau kaya gini..." senyum Ben menyeringai sambil menghapus aliran darah yang mengalir di dagu Rere.

"Kalo seandainya kamu nurut sama aku, gak bakal jadi begini sayang..."
"Tolong... jangan ganggu gue.. tolong, jangan perkosa gue. Gue masih perawan..."
"Perjanjiannya udah berubah sekarang sayang... kalau kamu seandainya nurut, mungkin aku akan membela kamu biar gak usah diperkosa rame-rame...

sekarang kamu engga ada pilihan lagi say...". Rere masih belum mau menyerah dengan kenyataan ini. Dengan melupakan rasa sakit diperutnya yang teramat sangat, dia kembali mendorong tubuh Ben sehingga menubruk teman-teman Ben yang tepat berada di belakangnya. Lalu dengan langkah seribu dia berlari kearah pintu menuju gerbang sekolah. Dia terus berlari. Entah kekuatan darimana tetapi dia memacu kakinya untuk terus berlari.

Tiba di gerbang, Rere menggedor-gedor gerbang dengan keras.
"TOLONG... TOLONG!!!!" katanya kuat-kuat. Lalu Rere menoleh ke belakang dan di lihatnya keempat pemuda itu sudah semakin dekat. Rere kembali berputar untuk berlari. Dia tahu dia harus terus berlari. Menoleh sebentar kebelakang memastikan dia cukup jauh untuk bersembunyi dan tiba-tiba tanpa sadar, kakinya terantuk keras ke tiang penyangga rantai parkir dan terjatuh keras ke lantai aspal parkiran sekolahnya. Langsung saja, denyut kesakitan yang luar biasa di lutut Rere hampir mengaburkan pandangannya, berkunang-kunang sebentar kaki Rere terasa sakit bukan kepalang. Rere memegang kakinya. Bagaikan tertiban batu besar yang meremukkan kakinya, Rere merasa bahwa lututnya menyiksanya. Matanya langsung berair mencoba menahan sakit. Rere merintih menggigit bibirnya sendiri sambil memegang lututnya. Ketika dia coba untuk bangkit berdiri. Lutut dan tulang keringnya serasa tidak bersahabat. Rere terjatuh lagi.

"Ha.. ha.. ha..." Terdengar tawa keras yang sangat dekat. Di depannya Ben dan teman-temannya sudah berdiri tepat mengelilingi Rere. Rere sangat takut kalau Ben akan memukulnya lagi. Dia sudah sangat kesakitan. Tetapi dia tidak bisa berlari lagi. Dia merasakan kaki kanannya yang terantuk tiang sepertinya patah dan tidak bisa diajak untuk berlari.

"Rere... kok bisa jatuh" Engga liat jalan ya say...!" Belai Ben di rambut Rere mengikuti cemoohannya. Rere sudah sangat ketakutan sekarang. Ben mulai menggerayangi Rere yang sudah tidak berkutik lagi walaupun tak ada Sam yang memeganginya dari belakang. Rere berusaha menyeret tubuhnya mundur menghindari keempat orang tersebut walaupun dia tahu hal itu tidak akan membantu banyak. Tiba-tiba Ben menjenggut kasar rambut Rere dan menjambaknya keras. Sementara tangan kanan Ben menekan keras lutut Rere dimana warna biru kemerahan sudah membilur pucat mengotori warna putih mulus di sana.

"Acchh...!" Rere mengerang kesakitan. Seakan Ben tidak menghiraukan Rere dan ingin membuatnya sakit lebih dalam lagi, Ben terus menekan kuat lutut Rere yang sudah membiru kehitaman. Air mata mengalir deras di pipi Rere menahan sakit yang teramat sangat di kakinya yang membiru. Dia sadar sudah tidak ada jalan keluar lagi.

"Sakit ya say...?" Tanya Ben mesra, sementara ketiga temannya tersenyum puas. Merasa mangsanya sudah tidak bisa berkutik lagi. Mereka senang tidak ada adegan kejar-kejaran lagi.

"Tapi kamu tambah cantik kalau kesakitan gini...!" sambung Ben lagi. Rere merasa jijik dan marah terhadap keempat orang tersebut. Tetapi yang pasti sakit di kaki ini tidak seberapa dibanding sakit hatinya terhadap Ika dan Albie. Kenapa mereka berdua begitu tega bersekongkol untuk menyakitinya. Dia tidak mengerti apa salahnya kepada Ika. Dan mengapa Albie bisa berbuat sejauh ini karena penolakannya.

Tiba-tiba Rere merasakan tangan Ben sudah berpindah dari lutut naik ke daerah sensitif segitiga Rere. Kali ini dia menarik celana dalam Rere. Menurunkannya kebawah sehingga celana dalam itu merosot ke bawah menunjukkan kemaluan Rere dengan jelas. Berusaha untuk terus sadar. Rere merasakan sakit kembali di lututnya ketika celana dalamnya ditarik paksa dan mengenai kakinya yang jenjang. Rere sadar dirinya sudah setengah telanjang saat seragam putih abu-abunya dirobek paksa oleh keempat pemuda tersebut. Tapi sekarang, tanpa pembungkus segitiga itu, Rere merasa sudah telanjang bulat meskipun seragam compang-campingnya masih tersanggah di badannya walaupun tidak bisa menyembunyikan sempurna seluruh anggota badannya.

"Tolong... Ben...jangan perkosa gue... Gue akan kasih apa aja yang lo mau asal jangan perkosa gue... tolong..." Seru Rere memelas.

"Wah, dia udah tau nama lo Ben... Ha...ha...haa...ternyata cewe ini udah kenalan ma lo ya Ben"!" Celetuk Dave tepat di samping. Ada air mata menetes tepat di dada Rere yang terbuka. Ben menyeka air mata itu sambil berusaha membuka bra hitam yang Rere kenakan hari itu.

"Tolong... Ben,...jangan!" mohon Rere sambil memegang tangan Ben yang berusaha melepas bra-nya dengan kedua tangannya.

"Sebutin aja angkanya, gue bakal usahain...Tapi jangan perkosa gue... please..." Rere mengiba dengan berlinangan air mata. Tetapi rupanya Ben tidak merasa kasihan dengannya. Lalu Ben menghempaskan tubuh Rere kembali ke tanah. Sejurus kemudian, Ben mulai membuka ikat pinggangnya, membuka celananya mengeluarkan kemaluannya yang ternyata sudah tegak menjulang. Rere sungguh ketakutan. Dia terus berusaha menyeret badannya mundur. Tetapi Ben dengan tenang menindih Rere, gelagak tawa melatarbelakangi adegan ini. Ben kemudian menciumi bibir Rere dengan lembut dan sopan seolah ini adalah "malam pertama"nya. Dengan sekuat tenaga Rere menghindari ciuman itu.

Tetapi dia sudah tidak berdaya lagi. Ben sekali lagi mulai menggerayangi dan menjamahi tubuh lemas Rere. Dia bahkan menciumi tengkuk dan telinga Rere.
"Kan udah aku bilang sayang... sekarang tuh udah bukan urusan duit perasaan, tapi urusan hati. Aku gak butuh uang kamu kok... uangku juga banyak. Aku cuma mau membagi dan merasakan cinta untuk kita berdua..." Darah Rere berdesir ketika dirasakan benda tumpul dan kenyal sudah menempel di kemaluannya yang sudah telanjang, memaksa masuk ke liang kehormatannya. Rasa takut dan putus asa mulai menguasai Rere. Akal sehatnya hilang. Air matanya mengalir deras menahan sakit di sekujur tubuhnya ketika tiba-tiba seseorang dari belakang menarik Ben ke atas dan meninjunya keras sehingga Ben tersungkur. Tanpa memberi ampun. Laki-laki itu terus memukuli dan menendangi Ben yang terjatuh dengan kepalan tangan dan kakinya ke segala arah di seluruh badan Ben. Menendang perutnya sangat keras. Rere tidak bisa melihat siapa orang itu. Tetapi dia bisa melihat Ben memuntahkan darah segar ketika orang itu menendang perutnya. Sesaat kemudian Zack, Sam dan Dave mulai tersadar dari bengongnya dan segera menolong Ben dengan menarik orang itu dan menguncinya untuk tidak berkutik lagi. Rere akhirnya melihat siapa dia.

"Albie..." katanya dalam hatinya. Tanpa sadar dia menarik dan memakai lagi celana dalamnya. Sedetik kemudian dia hanya bisa terbengong melihat kejadian Albie di bekuk oleh ketiga teman Ben. Ben pun mulai bangkit berdiri. Memakai celananya kembali, menyeka bibirnya yang bersimbah darah dengan punggung tangannya. Buku-buku jarinya mengepal dan membentuk tinju. Kemudian dia sedikit berlari menghampiri Albie dan meninjunya keras-keras. Albie tidak tersungkur karena dipegangi ketiga teman Ben, tetapi Rere melihat Albie tertonjok telak dan langsung mengeluarkan darah di salah satu lubang hidungnya.

Albie berusaha melawan. Tetapi ketiga pegangan pemuda itu sungguh kuat menguncinya.

"SIAPA LO"!!" teriak Ben marah. Tangannya tetap terkepal membentuk tinju yang Rere yakin sangat menyakitkan kalau terkenanya.
"EH PENGECUT! KALO BERANI SATU LAWAN SATU. JANGAN KEROYOKAN GINI! DASAR BANCI LO!!! CUIH!!" Albie pun tak kalah geramnya sambil meludahi Ben dengan segala keberaniannya.

Seakan tersambar petir, Rere menyadari kalau mereka tidak mengenali Albie. Berarti mereka bukan suruhan Albie. Rere sungguh menyesal mengapa dia sempat menyalahi Albie. Ternyata Albie datang untuk menolongnya.

Rere tahu kalau saat Albie meludahi Ben, sesuatu yang buruk akan menimpa Albie. Dengan segala kemampuannya Rere bangkit berdiri, berlari terpincang-pincang dan segera memeluk Albie seolah melindungi Albie dari Ben dengan badannya yang kecil dan terluka.

"Albie..." tangis Rere sambil memeluknya keras menghiraukan keempat pemuda yang lain.
"kamu engga apa-apakan Re" Tenang aja Re, semua akan baik-baik aja..." jawab Albie berusaha menenangkan Rere meskipun dengan posisi terkunci dia tidak bisa membalas pelukan Rere yang sudah lama dia nantikan.

Ben rupanya tersadar kalau yang memukulnya bernama Albie. Lantas saja dia menarik tubuh Rere menjauh dari pelukan Albie ke pelukannya sendiri. Sambil memeluk Rere dari belakang, Ben mulai memperhatikan Albie yang masih memberotak kunci sekapan mati dari ketiga sahabatnya. Untuk pandangan seorang laki-laki, menurut Ben Albie memang laki-laki yang ganteng. Hidung yang mancung menghiasi wajahnya yang putih. Badannya tegap atletis. Tingginya juga sama dengan tinggi dirinya dan teman-temannya.

"Jadi elo yang namanya Albie..." Ben bertanya sambil terus memeluk Rere dari belakang.
"Jangan sentuh Rere lo bajingan!! Siapa yang nyuruh lo! Suruh dia berhadepan sama gue!! Dasar lo pengecut semua!!" Albie tetap menantang walaupun menurut Rere posisi Albie sekarang sangat tidak menguntungkan.

"Ben, kita bikin mampus aja nih anak! Belagu banget!!" Zack menimpali tak sabar.
"Jangan... Dia gak boleh disakitin...Itu udah termasuk perjanjian. Katanya dia gak mau terjadi apa-apa sama dia" jelas Ben ke teman-temannya. Nampaknya Sam tidak setuju, tetapi dia tetap menepati perjanjian itu dan kedua yang lainnya pun akhirnya setuju.

"APA LO BILANG"!!" Albie kembali berteriak. "SIAPA... SIAPA YANG NYURUH LO SEMUA!!?" BILANG SIAPA YANG NYURUH LO!!!!!" Albie semakin geram. Rere berfikir kenapa orang di balik semua ini tidak mau menyakiti Albie" Kenapa Ben dengan gampangnya melayangkan tamparan dan pukulan ke dirinya tetapi tidak boleh menyakiti Albie" Sesaat kemudian Rere tersadar bahwa dirinya sakit, lututnya pun kembali mendenyut nyeri dan sedetik kemudian diapun tidak bisa menahan berat badannya dan terjatuh lunglai dalam pelukan Ben.

Dengan badan merosot lunglai dipelukan Ben, Albie melihat dengan jelas bahwa tangan Ben tepat berada di buah dada Rere menahan agar Rere tidak jatuh dan tetap berada di pelukannya, dan Albie pun menyadari bahwa Rere sudah setengah telanjang dengan seragamnya yang sudah compang-camping. Darah berdesir hebat di kepala Albie. Menahan amarah, Albie terus berkutat. Tahu bahwa mereka tidak boleh menyakiti Albie, Sam, Zack dan Dave hanya terus berusaha menahan dan mengunci Albie sementara sahabatnya yang satu lagi dengan santai menjamah tubuh perempuan cantik yang terkulai lemas di pelukannya.
“LEPASIN TANGAN LO BAJINGAN!! LEPASIN RERE!!” teriak Albie dengan nada kebencian yang luar biasa. Namun Rere tetap terpeluk. Tubuhnya meronta lemah dipelukan Ben.

“Tenang bro... kalau gue lepas, cewe idaman lo ini bakalan jatuh. Kayanya kakinya patah tadi...“ jawab Ben santai. “Kamu sih pake ngelawan, jadinya kaya gini tuh...“ sapa Ben ramah kembali kepada Rere sambil memberikan kecupan di bibir Rere sengaja membuat Albie panas. Rere pun tidak bisa berbuat apa-apa, hanya air mata tak hentinya mengalir dari matanya yang sayu.
Albie terus memberontak berusaha melepaskan ikatan teman-teman Ben.

Pergelutan antara bibir Ben dan Rere tampaknya terus berlangsung sambil tak lupa tangan Ben terus menggerayangi seluruh tubuh Rere bahkan ke daerah-daerah sensitif Rere. Rere sedikit menggelinjang merasakan cumbuan Ben. Dia merasakan sentuhan itu tepat mengenai hatinya yang sakit. Rere pun kembali menangis. “Jangan... mmphh“ mulut Rere terus dilumat sementara Rere terus menolaknya.

Lima menit cumbuan itu berlangsung diiringi dukungan semangat dari ketiga temannya sementara Albie terus berkutat sambil berteriak-teriak berharap ada orang yang mendengarnya dari luar. Rere seperti sudah di vonis untuk diam tak berkutik. Diapun tidak bisa menghidari ciuman dan serangan tangan Ben diseluruh tubuhnya. Namun dia berusaha menutup bibirnya agar lidah Ben tidak masuk ke dalam. Sementara Ben semakin jenuh dengan penolakan Rere, lantas dia menekan keras dilutut tempat bagian tubuh Rere yang terluka sehingga membuat Rere mengerang kesakitan. Dan kesempatan disaat mulut Rere terbuka inilah Ben memasukkan lidahnya ke dalam dan memainkannya di sana.

Albie sungguh tersiksa melihat kejadian tersebut. Dia terus berteriak-teriak menyumpahi kata-kata kotor kepada Ben. Sampai akhirnya Ben tersadar saat Albie meneriakan “KALO LO SAMPE PERKOSA DIA!!! GUE SUMPAH, GUE BAKAL HABISIN KELUARGA LO. GUE JUGA BAKAL PERKOSA ADIK PEREMPUAN LO!!!!“ Ben menghentikan ciuman dahsyatnya. Kemudian dia terdiam. Selama 2 detik dia berfikir sampai dengan sangat tiba-tiba dia terbangun dan melepaskan Rere yang langsung otomatis terjatuh lunglai di tanah, berjalan menghampiri Albie..

“Denger ye, gue punya penawaran menarik buat lo.” Seru Ben pelan di wajah Albie dan teman-teman Ben. “Emang perjanjiannya gue gak boleh nyakitin elo dan gue gak boleh make dia kalo dia masih perawan. And guess what "...She is a virgin...jadi emang gue gak boleh make dia” katanya sambil menoleh sebentar-sebentar ke arah Rere yang terduduk lemas di tanah sambil memegangi kakinya.
“Taaaaaapiiiiiiiiiiiiiii...” lanjut Ben dengan nada panjang, “Cewe idaman lo ini bener-bener OK banget bro... gue gak bisa nahan konak kalo ngeliat dia... temen-temen gue juga... mereka niatnya mau make cewe lo virgin atau gak virgin. Jadi apa boleh buat!?"” Ben mengangkat bahunya santai.
“Cuman gue masih punya hati bro...Penawaran gue, berhubung dia itu cewe idaman lo, gue mau lo pake dia duluan. You take her virginity... abis dia udah gak virgin lagi, baru gue and temen-temen gue gantian yang make dia... Kan jadinya gue gak melanggar kontrak. Kalo lo dah pake dia, berarti kan dia udah gak perawan lagi. Jadi kita-kita bisa make dia... he...he... gimana"” Ben menjelaskan dengan tersenyum sinis.
“JANGAN MIMPI LO ANJING!!!!!” Albie nampaknya geram sekali dengan pernyataan Ben. Rere juga terkejut dengan rencana itu. Dia sampai meringkuk melingkar sambil berusaha menahan sakit di kakinya.

Ben nampaknya sudah yakin dengan keputusannya. Lalu dia berjalan mendekati Rere, sedetik kemudian dia merangkul dan membopoh Rere masuk ke dalam kompleks sekolah.
“Come on guys... Bawa tuh si Albie...” Ben memerintahkan teman-temannya yang masih menjepit Albie. Mereka pun langsung menggeret Albie mengikuti Ben.

Ben rupanya menuju ke salah satu ruang kelas yang belum (lupa) dikunci pak Somad. Rere mengenali dia masuk ke ruang BP. Dengan berusaha kuat dia menyeret kakinya yang sepertinya patah dan terpaksa mengikuti Ben yang membopong paksa menuju ke ruang BP.

Di dalam ruang BP terdapat beberapa Sofa kecil dan satu sofa panjang mengitari satu meja dengan rapi. Ben membuang Rere ke sofa panjang tersebut. Spontan Rere terpekik ketika dia terduduk jatuh ke sofa. Dan lagi-lagi Rere merasa kakinya sudah sangat tidak tertahankan. Rere melihat Ben menggeret dan memindahkan sofa-sofa kecil dan meja ke sudut ruangan. Dari bingkai pintu juga Rere melihat Albie yang baru tiba dengan Dave, Zack dan Sam. Mereka masuk ke dalam ruangan BP yang sekarang sudah sangat lega. Ben selesai menggeser sofa terakhir ke pojok ruangan dan segera menghampiri Rere. Sekilas Rere pikir akan di angkat lagi oleh Ben, tetapi Rere salah. Tangan Ben yang menuju arahnya menarik seragam putihnya dengan paksa. Lalu Ben juga mengoyak rok abu-abu Rere,menariknya terlepas. Rere sekarang hanya mengenakan bra dan celana dalam saja. Spontan dia langsung berusaha menutupi dirinya dengan kedua tangannya meskipun menyadari kalau itu sia-sia saja. Albie yang melihat hanya bisa memberontak kuat dari pegangan ketiga kawan Ben. Lalu Ben kembali menelanjangi tubuh Rere, dia segera melepas bra dan celana dalam Rere.

Tampak selama sepersekian detik Ben terbengong dan terkagum melihat keindahan tubuh hasil penelanjangannya itu. Tubuh Rere begitu indah, mulus dan putih. Buah dadanya pun masih sangat kenyal, kencang dan padat dengan ukuran 34 B. Ben juga menelusuri selangkangan Rere yang putih bersih. Bulu-bulu halus menghiasi permuaannya membentuk seperti bukit mungil. Rere berusaha menutup kakinya dan dia sekarang benar-benar sudah sangat ketakutan. Kalau boleh memilih, Rere ingin tubuh telanjangnya hanya boleh di nikmati Albie saja. Tetapi hal ini tidak mungkin.

“Tolong... Jangan perkosa saya...” Sekarang nada bicara Rere sudah sangat sopan dan ketakutan. Menyerah dengan keadaan, berusaha memohon dengan segala kehinaan kepada Ben yang masih mengagumi tubuh indahnya.

Albie pun tanpa sadar juga mengagumi tubuh gadis idamannya, “Bagus banget badan kamu Re...” kagum Albie dalam hatinya. Tetapi dia masih bisa mengendalikan diri dan segera memalingkan pandangannya ke sudut ruangan. Berusaha untuk tidak lebih menelanjangi Rere dengan tatapan matanya. Sementara ketiga orang yang memegang Albie pun sama-sama tertegun akan sosok telanjang gadis di depan mereka. Mata mereka tak pernah berpindah dari tubuh Rere, terutama buah dada dan kemaluan Rere, tetapi tangan mereka tetap memegang keras sekapannya.

“Sekarang lo pegang nih badan cewe lo...” jawab Ben santai. Albie yang sedari tadi masih memandang sofa yang tertumpuk dipojokan, tahu kata-kata itu akan keluar dari mulut Ben semenjak dia mengatakan ‘lo pake dia duluan’. Ben tidak beranjak dari tempatnya. Dia tidak mau menikmati tubuh Rere dengan cara seperti ini. Tidak untuk sekarang at least. Tapi dia juga tidak mau anak-anak ini menikmati tubuh Rere apalagi setelah Albie tahu Rere masih perawan. Sungguh sempurna wanita idamannya. Dia pikir, dengan kecantikan dan gaya hidup yang Rere miliki akan sulit untuk mempertahankan keperawanannya pada jaman sekarang ini. Tetapi princess-nya itu benar-benar sempurna. Albie jadi semakin cinta kepadanya. Albie segera sadar dari lamunannya ketika dia merasa badannya didorong paksa.
“Eh ngapain lo... JANGAN!! LEPASIN GUE!!” katanya ketika dia dipaksa menghampiri Rere, tangan Albie pun dituntun paksa untuk menyentuh tubuh Rere. Rere yang tersimpuh hanya bisa melihat Albie memberontak sambil didorong ke arahnya. Tak lama kemudian dia merasa buah dadanya sekarang sudah ada di remasan tangan Albie.

Albie merasa perasaannya sekarang ada di dua tempat. Marah dan bahagia. Dia senang menikmati tubuh Rere walaupun dia lebih suka dengan cara yang romantis. Tapi disaat yang sama dia benar-benar marah ketika dia dimanfaatkan keempat orang tersebut untuk menikmati tubuh gadisnya itu. Tangan Albie terus menempel atas paksaan Sam di dada Rere, Sam meremas tangannya dari atas dan otomatis juga membuat Albie meremas buah dada Rere.

Rere mendengar dirinya mengerang sendiri. Ada perasaan aneh mengalir pada dirinya. Rere merasakan seluruh dirinya bagaikan terbang ke awang-awang. Tanpa sadar Rere memejamkan matanya seakan meresapi remasan tangan Albie di buah dadanya. Remasan Albie pun sekarang berubah menjadi remasan yang sangat halus, berperasaan dan penuh kasih sayang. Rere membuka matanya dan dia melihat wajah Albie mulai mendekat dengan wajahnya. Pori-pori kecil di hidung Albie yang mancung sudah terlihat sangat jelas sekarang.

Albie pun mulai mengecup keningnya. Rere kembali menutup matanya. Ciuman itu sekarang berpindah turun ke bibirnya. Rere sekali lagi tanpa sadar membuka bibirnya membiarkan lidah Albie menari-nari menjilati dinding mulutnya dan menggelitik lidahnya. Remasan kasar Albie di dadanya tadi sekarang sudah mulai lembut dan halus menjamah seluruh tubuhnya berpindah kepunggung Rere, mengangkat tubuhnya dan memeluknya dengan mesra sambil mereka berpagutan terus menerus. Rere sungguh merasa melayang sekarang, dalam pelukan Albie, dia bisa mencium laki-laki dambaannya itu.

Mungkin Albie sudah tidak sadar atau sudah mulai terangsang, tetapi Rere merasakan Albie melepas pelukannya. Dengan terus berciuman, Rere membuka matanya dan melihat Albie juga sedang memjamkan mata. Namun tangan Albie sekarang tidak memeluknya lagi. Sambil berciuman Rere melihat Albie membuka bajunya sendiri. Sejurus kemudian Albie sudah tidak mengenakan apa-apa lagi.

Rere melihat kemaluan Albie yang sudah tegak keras berdiri. Rere memekik tanpa sadar memandang benda itu, sungguh besar dan panjang. Namun Albie dengan sambil terus menciumi Rere kembali memeluk Rere. Kulit mereka sekarang bersentuhan menempel erat seakan bersatu. Albie mulai menurunkan ciumannya turun ke bawah, leher Rere terus diciumi seakan dia menganggumi bentuk leher yang putih dan indah itu. Turun ke bawah, Rere merasa buah dadanya dijilati Albie, sementara tangan Albie terus menggerayangi seluruh tubuhnya.

Rere mulai mengaktifkan tangannya, dia sekarang berani memeluk Albie. Meremas-remas dan memainkan rambut Albie sambil meresapi jilatan Albie yang serasa maut di sekujur tubuhnya. Erangan Rere membuat Albie semakin naik birahi. Remasan tangan Rere di punggung dan rambutnya mulai memberanikan Albie membelai dan menyentuh pangkal paha Rere.
“Achh...“ desah Rere tanpa sadar ketika dirasakan sensasi yang luar biasa terasa di daerah selangkangannya. Albie pun semakin gencar. Kembali dia menciumi Rere sambil memainkan klitoris Rere.
“Aku sayang banget sama kamu Re...” bisiknya dengan mesra di kuping Rere.
“Bie... Aku juga sayang sama kamu...” balas Rere sambil terpejam.

Sekarang Rere merasakan tubuhnya dibaringkan oleh Albie. Rere tidak menolak. Entah ini karena keadaan atau ancaman dari keempat orang yang sekarang menonton mereka bergumul, atau memang hati Rere juga menginginkannya. Albie membuka kaki Rere dan dengan sangat hati-hati mulai mengarahkan batang kemaluannya ke bibir kemaluan Rere.

Seakan mengharapkan saat-saat seperti ini terjadi, Rere bersiap diri dengan menggigit bibirnya dan mengkonsentrasikan seluruh pikirannya di daerah kemaluannya. Seakan menanti saat-saat ini, dia memandang wajah Albie yang sudah berkeringat. Tatapan Albie seperti menunjukkan bahwa ini adalah hal yang terbaik untuk saat ini dan bahwa dia memang sungguh-sungguh menyayanginya dan bahwa dia akan bertenggung jawab dengan segala konsekuensinya. Rere pun mengerti. sekarang dia merasakan suatu benda tumpul sedang menempel di pintu kemaluannya. Mencoba mendorong masuk sambil menekan. Rere pun masih menggigit bibirnya. “Sakit..“ katanya dalam hati ketika dia merasa sedikit dari benda itu sudah berada dalam dirinya.

Albie pun dengan sangat hati-hati memasukan kejantanannya ke dalam kemaluan kekasihnya itu sekarang. Sadar bahwa batangnya sudah masuk setengah, Albie menariknya kembali dan mulai menggoyang-goyangkan secara perlahan. Dilihatnya Rere yang masih memandangnya. Tetapi dia tidak menggigit bibirnya lagi. Mulutnya sedikit terbuka dan mendesah pelan. Albie pun tak kuat lagi untuk tidak menciumnya. Kembali ciuman itu terjadi dan kali ini dengan penuh nafsu. Albie kembali mendorong batangnya dan tersadar bahwa semuanya sudah menancap pasti di dalam kemaluan Rere. Merasa seakan tubuh Rere memijit batang kemaluannya. Dilihatnya Rere yang kembali menggigit bibir, berkeringat tetapi sangat menggarirahkan. Albie terus melakukan dorongan-dorongan. Semakin lama dorongan dan pompaan Albie di dalam kemaluan Rere semakin cepat. Rere pun sudah mendesah dan mengerang dalam tiap tusukan batang Albie di dalam tubuhnya.

15 menit sudah mereka bergumul dan menyatu ketika Rere mendengar Albie mendesah panjang. Butir-butir keringat mereka sudah bercampur menyatu. Albie terus mengerang sambil menggenjot kekasihnya. “Aku sayang banget sama kamu Re...Ughh...“ Itulah yang dikatakan Albie sambil berejakulasi di dalam rahim Rere.

Rere merasakan sesuatu yang hangat menyemprot rahimnya dan Albie semakin kuat memeluknya. Seakan waktu berhenti, Albie tetap memeluk Rere sekuat-kuatnya tanpa mencabut benda pusakanya dari dalam tubuh Rere, seakan dia tidak akan melepaskannya lagi. Tidak ada gerakan sama sekali kecuali pelukan dan nafas mereka yang terang-engah. Entah kenapa Rere baru tersadar dan air matanya kembali menghiasi wajahnya yang sekarang terlihat sayu dan lelah. Albie memandangnya, diakuinya Rere memang sangat cantik walaupun keringat dan sedikit darah menghiasi wajahnya. Sambil terus memeluknya, Albie menyeka air mata, keringat dan darah di wajah Rere.

“Aku akan tanggung jawab Re...Swear... please kamu jangan nangis... semuanya akan baik-baik saja...“ Albie menenangkan sambil mengusap wajah Rere. Albie bisa melihat dengan jelas butir-butir air mata Rere yang terus mengalir di pipinya.

Rere menangis dalam diam. Ekspresinya datar walaupun air mata tak kuat dibendungnya, terus tumpah mengaliri pipinya yang mulus. Dia terus menatap Albie yang tepat di atasnya, memeluk kuat dirinya dengan batang kemaluan masih tertancap ditubuhnya. Tak disangka dia sudah kehilangan keperawanannya, tak disangka dia menyerahkan keperawanannya kepada Albie atau Albie yang merenggut keperawanannya yang selama ini dijaganya" Keperawanan yang dijaga yang suatu saat nanti akan diberikan kepada orang yang dicintainya. Tetapi kepada siapa keperawanan ini akan diberikan" Rere berpikir dalam hati. Suaminya nanti" Siapa"

Dirasakannya Albie mengendurkan pelukannya dan dengan hati-hati bangkit berdiri. Mencabut batang kemaluannya yang sudah mengecil. Rere sekali lagi merasakan sensasi yang unik pada saat batang itu keluar dari tubuhnya. Sesuatu mengalir keluar dari dalam kemaluannya. Dilihatnya cairan kental putih bercampur darah keluar dari kemaluannya. Rere sadar itu darah perawannya. Albie pun melihat dan langsung kembali memeluk Rere sambil menciumi wajahnya.
“Aku cinta banget sama kamu... Aku sayang kamu... Re, aku akan selalu bersama kamu...” Rere tidak tahu harus membalas dengan kata-kata apa. Dia bingung bercampur sedih, marah, senang dan bahagia. Tetapi apa yang harus dikatakannya pada Albie.

“Aku capek Bie... Aku mau pulang... Kaki ku sakit. Badanku rasanya hancur... aku mau pulang Bie... Aku capek...!“ Seru Rere sambil menangis dipelukan Albie. Memang ini hari yang panjang buat dirinya.
“Iya sayang... Ayo kita pulang... kamu harus istirahat...enggak deh, kamu harus ke dokter dulu... aku cari dulu baju buat kamu“ Albie menenangkan Rere. Tetapi ketika Albie berbalik kebelakang untuk mencari seragam Rere tiba-tiba pukulan keras mengenai tengkuk Albie. Sekejap kemudian Albie jatuh tak tersadarkan diri.
“Albie...!” teriak Rere.

“Enak aja lo... udah make mau langsung pulang!!” Rupanya Sam memukul Albie dari belakangnya. Rere sama sekali lupa dengan mereka berempat. Tadinya dia pikir dia sudah bisa pulang dan istirahat. Namun rupanya mereka berempat masih belum selesai dengannya. Dilihatnya keempat kawanan tadi masih tetap berada diruang itu. Rere juga kembali tersadar bahwa persetubuhannya tadi dengan Albie ditonton mereka secara gratis.

Ben kembali berjalan memposisikan dirinya di depan teman-temannya. Rere beranggapan mungkin dia adalah ketua dari geng tersebut.

“Payah deh cowo kamu nih... masak abis selesai ngewe langsung pulang... SMP banget sih!“ gerutu Ben sambil menjentikkan jarinya memerintahkan teman-temannya untuk menggeser tubuh Albie. Mereka pun langsung membopong tubuh Albie dan diletakan di sofa kecil di pojokan yang tadi di tumpuk Ben.

“Nah, say... sekarang giliran kita-kita ya...“ seru Ben sambil kembali menjamah tubuh telanjang Rere.
“Tolong...jangan... saya capek... saya udah gak kuat... sakit...sakit...Agghh...mmpphf...” begitulah kata-kata yang keluar dari mulut Rere sebelum dibekam oleh ciuman dari bibir Ben.

Dengan ganas Ben mecium bibir Rere. Melahap seperti orang yang haus akan ciuman. Sambil meremas buah dada Rere yang menggantung indah didadanya, Ben terus menggarap Rere tanpa ampun. Dalam sekejap. Keempat orang itu sudah tidak mengenakan apa-apa lagi. Keempatnya langsung mengelilingi tubuh Rere yang masih telanjang.

Rere pun tak bisa mengelak ketika tangan-tangan nakal menggerayangi setiap sudut tubuhnya. Seakan sudah diatur, Sam langsung menciumi dan menjilati buah dada Rere, Dave pun langsung mendarat di leher dan tengkuk Rere, memberIka n tanda merah tua berkat cupangannya nafsu di leher Rere. Sementara Zack membilas kemaluan Rere dari sperma Albie dan darah dengan tissue basah yang entah dari mana didapatnya dan langsung menjilatinya dengan nafsu.

Rere merasa tidak kuat dengan perlakuan mereka, dia terus saja mendesah dan mengerang oleh perlakuan mereka, entah karena rangsangan atau siksaan. Tetapi dia tidak bisa meneruskan erangannya ketika dengan tiba-tiba Ben memasukan batang kejantanannya ke mulut Rere.

“hisap dong sayang...“ katanya sambil menjambak rambut Rere dan membuat kepala Rere maju mundur dalam selangkangannya. Sekilas Rere merasa ingin muntah dan jijik. Dia tidak bisa bernafas. Serasa mulutnya yang disumpal oleh benda besar panjang, kenyal tetapi keras itu juga menutup hidungnya.

Rere berusaha mendorong selangkangan Ben dari wajahnya. Tetapi jambakan pada rambutnya yang kuat membuatnya tak kuasa untuk memaju-mundurkan wajahnya dengan batang kemaluan Ben di mulutnya. Dalam menit pertama Rere merasa hal ini sangat menyiksa dirinya, tetapi jilatan-jilatan dari ketiga yang lain membuatnya serasa terbang ke awang-awang. Dia pun sekarang tidak melawan ketika Ben menuntun kepalanya bergerak untuk memberikan pijatan pada batang yang ada di dalam mulutnya. Dan Rere langsung mengalihkan perhatiannya ke bawah ketika Rere merasakan sesuatu berusaha masuk ke dalam kemaluannya.

Rupanya Zack sudah siap dengan penetrasinya. Rere tahu dia tidak akan bisa lolos dari itu, maka dia berusaha untuk menikmatinya mengingat semakin dia melawan maka akan semakin lama penyiksaan ini. Rere berusaha untuk mengimbangi setiap genjotan Zack di dalam kemaluannya sambil terus menghisap batang kemaluan Ben di mulutnya. Sementara leher dan dadanya di remas dan dicium bergantian oleh Dave dan Sam.

Lima menit sudah ketika Zack mengeluarkan spermanya yang langsung menyemprot ke dalam rahim Rere. Langsung saja Dave menggantikan posisinya tanpa harus membilas kemaluan Rere sampai 7 menit berakhir ketika dia berejakulasi di dalamnya yang kemudian digantikan oleh Sam yang langsung menggenjot dengan nafsunya. Sementara Ben semakin mempercepat pemerkosaannya di mulut Rere dan mendorong kepala perempuan di selangkangannya dengan cepat sambil menggoyang pantatnya maju mundur. Rere merasa ujung batang Ben sudah ada di kerongkongannya. Mata Rere kembali berair saking tidak bisa bernafas dengan teratur. Lalu tak lama kemudian Ben mengeluarkan sperma di dalam mulut Rere yang langsung meluncur lancar ke tenggorokan Rere. Rere langsung terbatuk tetapi Ben segera mengatup mulutnya.

“Ditelan dong sayang... jangan di buang, mubajir...” katanya sambil tersenyum. Rere pun dengan terpaksa menelan sperma kental itu. Dia berusaha tidak merasakan rasa cairan yang mengalir licin ke tenggorokannya, tetapi air matanya kembali mengalir. Di bawah sana Rere mendengar Sam mengerang panjang sambil menancapkan batangnya dalam-dalam di liang sanggama Rere. Rere tahu dia dan kedua orang sebelumnya sudah berejakulasi di dalam liang kemaluannya.

Bagi Rere sepertinya waktu berjalan sungguh lambat hari ini. Ketiga orang yang bersanggama di dalam kemaluannya tadi sekarang masih mencoba untuk meneguk manisnya tubuh Rere dengan berbagai macam posisi. Sementara Ben masih dengan nafsu tinggi mencumbunya tanpa sedikitpun menyentuh kemaluannya. Rere tidak mengerti kenapa Ben tidak menyentuh daerah vitalnya sama sekali, yang pasti Rere sudah merasakan lelah yang teramat sangat, luar biasa sakit menyiksa sekujur tubuhnya dan seakan dunia sedang berputar-putar di sekelilingnya, matanya berat, kepalanya sakit dan tubuhnya sangat berat sampai akhirnya Rere tergolek pingsan tak sadarkan diri.